DTD adalah sebuah instruksi bagi apoteker untuk membuat setiap dosis obat sesuai takaran yang tertulis di resep.
Dunia farmasi atau kedokteran memiliki bahasanya sendiri. Saat menerima selembar kertas resep dari dokter, pasien sering kali dihadapkan pada serangkaian tulisan tangan yang sulit dibaca, penuh dengan singkatan Latin dan istilah teknis. Di antara banyak singkatan tersebut, salah satu yang paling fundamental dan krusial dalam proses peracikan obat adalah "d.t.d.". Tiga huruf ini mungkin tampak sepele, namun bagi seorang apoteker, singkatan ini membawa instruksi yang sangat spesifik dan memengaruhi secara langsung dosis, keamanan, dan efektivasi obat yang diterima pasien.
Memahami makna di balik d.t.d. bukan hanya penting bagi para profesional kesehatan, tetapi juga memberdayakan pasien untuk lebih mengerti tentang pengobatan yang mereka jalani. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk singkatan d.t.d., mulai dari definisi harfiahnya, perbedaannya dengan metode penulisan resep lain, hingga implikasinya terhadap keamanan pasien dan presisi peracikan obat.
Singkatan "d.t.d." berasal dari frasa Latin, "Da Talis Doses". Jika diterjemahkan secara harfiah, frasa ini berarti "Berikanlah dalam dosis demikian" atau "Berikanlah sejumlah takaran tersebut".
Dalam konteks resep obat, instruksi ini memerintahkan apoteker atau asisten apoteker untuk membuat setiap unit sediaan obat (misalnya, setiap bungkus puyer, setiap kapsul, atau setiap supositoria) dengan kandungan zat aktif persis seperti yang tertulis dalam resep. Dengan kata lain, resep yang menggunakan d.t.d. menjabarkan komposisi untuk satu dosis tunggal, dan apoteker bertugas untuk membuat sediaan sebanyak jumlah yang diminta, di mana setiap sediaannya memiliki komposisi yang identik.
Ini adalah konsep kunci yang membedakannya dari metode penulisan resep lainnya. Dokter yang menuliskan resep dengan d.t.d. sudah memikirkan dosis terapi yang tepat untuk satu kali pemakaian oleh pasien. Tugas apoteker adalah mereplikasi dosis tunggal tersebut sebanyak yang dibutuhkan untuk keseluruhan durasi pengobatan.
Untuk memahami pentingnya d.t.d., cara terbaik adalah dengan membandingkan resep yang menggunakannya dengan resep yang tidak. Mari kita buat dua skenario resep racikan dalam bentuk puyer (serbuk terbagi) untuk seorang anak.
Skenario 1: Resep Menggunakan DTD
Seorang dokter ingin memberikan resep puyer yang terdiri dari Paracetamol dan CTM untuk seorang anak. Dosis yang diinginkan untuk satu kali minum adalah 250 mg Paracetamol dan 1 mg CTM. Obat ini harus diminum tiga kali sehari selama lima hari, sehingga total dibutuhkan 15 bungkus puyer.
Penulisan resepnya akan terlihat seperti ini:
R/ Paracetamol 250 mg
CTM 1 mg
Sacch. Lactis q.s.
m. f. pulv. d.t.d. No. XV
S. t.d.d. pulv. I
Mari kita bedah resep ini:
R/: Recipe (Ambillah).
Paracetamol 250 mg & CTM 1 mg: Ini adalah komposisi bahan aktif untuk SATU bungkus puyer.
Sacch. Lactis q.s.: Saccharum Lactis quantum satis (Laktosa secukupnya), digunakan sebagai zat pengisi agar volume puyer cukup untuk dibagi.
m. f. pulv. d.t.d. No. XV: Misce fac pulveres da talis doses numero quindecim (Campur dan buatlah serbuk terbagi sesuai dosis di atas sebanyak 15 bungkus).
S. t.d.d. pulv. I: Signa ter de die pulverem unum (Tandai tiga kali sehari satu bungkus puyer).
Proses di Apotek (dengan DTD):
Apoteker membaca instruksi d.t.d. No. XV. Ini berarti resep tersebut adalah untuk satu dosis, dan ia harus membuat 15 dosis yang identik.
Apoteker akan melakukan perhitungan total bahan yang dibutuhkan:
Total Paracetamol: 250 mg/dosis × 15 dosis = 3750 mg (3.75 gram).
Total CTM: 1 mg/dosis × 15 dosis = 15 mg.
Apoteker kemudian menimbang total bahan tersebut (3.75 g Paracetamol dan 15 mg CTM), mencampurnya hingga homogen dengan Saccharum Lactis, lalu membagi campuran tersebut secara presisi menjadi 15 bungkus yang sama rata. Setiap bungkus akhir dijamin mengandung 250 mg Paracetamol dan 1 mg CTM.
Skenario 2: Resep Tanpa DTD
Sekarang, mari kita bayangkan dokter yang sama menulis resep untuk obat yang sama tetapi tanpa menggunakan d.t.d. Dalam kasus ini, dokter harus menghitung total kebutuhan bahan aktif untuk seluruh resep.
Penulisan resepnya akan terlihat seperti ini:
R/ Paracetamol 3.75 g
CTM 15 mg
Sacch. Lactis q.s.
m. f. pulv. div. in p. aeq. No. XV
S. t.d.d. pulv. I
Mari kita bedah perbedaannya:
Paracetamol 3.75 g & CTM 15 mg: Perhatikan, angka yang tertulis di resep adalah total jumlah bahan aktif yang dibutuhkan untuk 15 bungkus, bukan untuk satu bungkus.
m. f. pulv. div. in p. aeq. No. XV: Misce fac pulveres divide in partes aequales numero quindecim (Campur dan buatlah serbuk, lalu bagi menjadi 15 bagian yang sama). Frasa ini secara eksplisit meminta apoteker untuk membagi total campuran menjadi 15.
Proses di Apotek (tanpa DTD):
Apoteker membaca resep dan langsung menimbang bahan sesuai yang tertulis: 3.75 g Paracetamol dan 15 mg CTM.
Bahan-bahan ini dicampur hingga homogen dengan Saccharum Lactis.
Campuran total ini kemudian dibagi menjadi 15 bungkus yang sama rata.
Meskipun hasil akhirnya secara teoretis sama (setiap bungkus puyer berisi 250 mg Paracetamol dan 1 mg CTM), filosofi dan titik awal penulisan resepnya sangat berbeda.
Penggunaan d.t.d. dalam penulisan resep bukan sekadar preferensi gaya, melainkan sebuah standar yang memiliki beberapa keunggulan fundamental, terutama dalam hal keamanan dan akurasi.
Mengurangi Potensi Kesalahan Perhitungan oleh Dokter: Dengan d.t.d., dokter dapat fokus pada hal yang paling penting secara klinis: menentukan dosis tunggal yang efektif dan aman bagi pasien. Dokter tidak perlu melakukan perkalian untuk menghitung total bahan, yang bisa menjadi sumber kesalahan matematis, terutama saat berhadapan dengan jadwal pemberian obat yang kompleks atau jumlah yang tidak biasa. Kesalahan satu angka nol saja dalam perhitungan total bisa berakibat fatal.
Kejelasan dan Komunikasi Standar: DTD adalah bagian dari bahasa universal farmasi. Penggunaannya menciptakan instruksi yang jelas, lugas, dan tidak ambigu bagi apoteker. Seorang apoteker di mana pun, ketika melihat resep dengan d.t.d., akan memahami dengan pasti bahwa angka yang tertera adalah untuk satu unit sediaan. Ini menghilangkan keraguan dan kebutuhan untuk melakukan konfirmasi ulang kepada dokter, yang dapat menunda pelayanan kepada pasien.
Menjamin Presisi Dosis per Unit: Konsep d.t.d. menekankan pentingnya akurasi pada setiap dosis yang diterima pasien. Meskipun apoteker pada akhirnya akan membagi campuran total, pola pikir yang diinisiasi oleh resep d.t.d. adalah berorientasi pada "kandungan per bungkus". Ini sangat krusial untuk obat-obatan dengan indeks terapi sempit (jarak antara dosis terapi dan dosis toksik sangat kecil), di mana sedikit saja penyimpangan dosis dapat menyebabkan obat menjadi tidak efektif atau bahkan beracun.
Memudahkan Verifikasi dan Penelusuran: Jika terjadi keraguan atau perlu dilakukan verifikasi, resep d.t.d. lebih mudah untuk ditelaah. Dosis per unit sudah tertulis dengan jelas, sehingga lebih mudah untuk membandingkannya dengan dosis lazim yang ada di literatur farmasi (seperti Farmakope atau buku standar lainnya).
Instruksi Da Talis Doses paling relevan untuk sediaan obat yang diracik dan dibagi menjadi unit-unit dosis tunggal. Beberapa bentuk sediaan yang paling umum menggunakan d.t.d. adalah:
Pulveres (Puyer atau Serbuk Terbagi): Ini adalah contoh paling klasik. Setiap bungkus puyer harus mengandung dosis yang tepat.
Kapsul Racikan: Ketika apoteker meracik obat dan memasukkannya ke dalam cangkang kapsul, resep d.t.d. memastikan setiap kapsul memiliki komposisi bahan aktif yang sama.
Supositoria: Untuk obat yang dimasukkan melalui rektum, setiap supositoria yang dibuat di apotek harus mengandung dosis yang akurat sesuai resep d.t.d.
Bentuk Sediaan Lain: Secara teoretis, sediaan lain seperti trochiscus (tablet isap) atau pil yang dibuat secara manual di apotek juga akan mengikuti prinsip ini.
Sebaliknya, d.t.d. tidak digunakan untuk sediaan cair yang tidak dibagi, seperti sirup dalam botol, obat tetes, atau salep dalam pot. Untuk sediaan ini, resep akan mencantumkan konsentrasi bahan aktif dalam volume total (misalnya, Paracetamol 120 mg / 5 ml) atau persentase dalam bobot total (misalnya, Hydrocortisone 1% dalam 10 gram krim).
DTD hanyalah satu dari sekian banyak singkatan Latin yang menjadi tulang punggung komunikasi dalam resep. Memahami beberapa singkatan lain dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang bagaimana resep bekerja.
m.f.: Misce fac (Campur dan buatlah). Ini adalah perintah dasar untuk meracik.
S.: Signa (Tandai). Diikuti oleh aturan pakai untuk pasien yang harus ditulis pada etiket obat.
t.d.d.: Ter de die (Tiga kali sehari).
p.r.n.: Pro re nata (Jika perlu).
a.c.: Ante coenam (Sebelum makan).
p.c.: Post coenam (Setelah makan).
gtt.: Guttae (Tetes).
h.s.: Hora somni (Pada waktu tidur).
Singkatan-singkatan ini, termasuk d.t.d., membentuk sebuah sistem stenografi medis yang efisien dan universal, yang telah teruji oleh waktu untuk meminimalkan ambiguitas dan memaksimalkan presisi.
Di era resep elektronik (e-prescribing), beberapa orang mungkin bertanya apakah singkatan Latin seperti d.t.d. masih relevan. Jawabannya adalah ya, secara konsep. Meskipun sistem komputer dapat secara otomatis menghitung total bahan yang dibutuhkan dan mengurangi risiko kesalahan tulis, prinsip di baliknya tetap sama.
Dokter yang memasukkan data ke dalam sistem e-prescribing masih harus menentukan apakah angka yang ia masukkan adalah untuk dosis tunggal atau untuk total sediaan. Sistem yang dirancang dengan baik sering kali memiliki kolom terpisah untuk "dosis per unit" dan "jumlah unit," yang pada dasarnya adalah digitalisasi dari konsep d.t.d. Oleh karena itu, pemahaman tentang filosofi Da Talis Doses tetap menjadi dasar dari praktik peresepan yang aman, baik di atas kertas maupun di layar komputer.
Terlebih lagi, obat racikan masih memegang peranan penting, terutama dalam pediatri (untuk menyesuaikan dosis anak yang kecil), geriatri (untuk pasien lansia dengan kebutuhan khusus), dan dermatologi, di mana kombinasi bahan aktif yang personal sering kali diperlukan. Di ranah inilah kejelasan instruksi peracikan, yang diwakili oleh d.t.d., menjadi sangat vital.
Dalam sistem peresepan elektronik (e-prescribing) yang menjadi bagian dari RME, dokter tidak lagi menulis "m.f. pulv. d.t.d. No. XV". Sebaliknya, antarmuka (tampilan) sistem akan menyediakan kolom-kolom terstruktur yang merepresentasikan konsep DTD.
Bayangkan saja seperti mengisi formulir belanja online.
Cara Lama (Resep Kertas): Dokter menulis resep di kertas dengan kode "DTD" untuk memberitahu apoteker, "Tolong buat setiap bungkus obat isinya seperti ini ya."
Cara Baru (Sistem Komputer/RME): Sekarang, dokter tidak lagi menulis kode. Di layar komputer, sudah ada kotak-kotak isian yang sangat jelas:
Kotak 1: "Isi untuk 1 bungkus/kapsul itu apa?" (Dokter mengisi: Paracetamol 250 mg)
Kotak 2: "Mau dibuat berapa bungkus/kapsul?" (Dokter mengisi: 15)
Apa untungnya cara baru ini?
Anti Salah Baca: Tidak ada lagi masalah tulisan dokter yang sulit dibaca.
Anti Salah Hitung: Komputer otomatis menghitung totalnya untuk apoteker, jadi tidak ada risiko salah perkalian.
Lebih Pintar: Sistem komputer bisa langsung memberi peringatan jika dosisnya terlalu tinggi atau jika pasien ternyata alergi terhadap obat tersebut.
Jadi intinya, konsep DTD (takaran per dosis) tetap ada, tapi caranya diubah menjadi digital agar jauh lebih jelas, praktis, dan yang terpenting, jauh lebih aman untuk pasien.
Resep racikan DTD tulis tangan rentan terhadap kesalahan baca dan hitung. Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit & Klinik AIDO mengubah peresepan DTD menjadi proses digital yang aman, terstruktur, dan bebas eror. Lindungi pasien Anda dan optimalkan alur kerja farmasi.
Jadwalkan Demo Gratis AIDO Sekarang dan Lihat Bagaimana Kami Merevolusi Peresepan di Faskes Anda!
Anda mungkin juga tertarik