Kecukupan SKP Kemenkes: Panduan, Tantangan, dan Solusi

Ditinjau oleh • 09 Mar 2025

Bagikan

Kecukupan SKP Kemenkes

Dalam sistem kesehatan yang dinamis, SKP (Satuan Kredit Profesi) menjadi kunci profesionalisme tenaga medis dan kesehatan di Indonesia. SKP adalah bukti partisipasi dalam P2KB (Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan) untuk menjaga dan memutakhirkan kompetensi, menjamin kualitas layanan, dan melindungi masyarakat.

UU Kesehatan 2023 membawa perubahan fundamental: SKP kini wajib untuk perpanjangan SIP (Surat Izin Praktik) dan kewenangan pengelolaan SKP sepenuhnya beralih ke Menteri Kesehatan (Pasal 264). Pergeseran ini, dari dominasi Organisasi Profesi (OP) ke Kemenkes, menandai penataan ulang regulasi kesehatan yang signifikan.

UU ini, sebagai "omnibus law," memicu konflik dan kekhawatiran OP terkait "perampasan legal" kewenangan. Meskipun bertujuan menyederhanakan regulasi dan meningkatkan kontrol pemerintah, perubahan ini menimbulkan perdebatan tentang otonomi profesional, pengawasan etika, dan tata kelola partisipatif dalam transformasi sistem kesehatan yang lebih luas.

Memahami Kecukupan SKP Kemenkes: Definisi, Tujuan, dan Landasan Hukum

 

Apa Itu SKP?

SKP dapat diibaratkan sebagai mata uang yang merepresentasikan partisipasi aktif tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Ini adalah sebuah sistem poin yang secara resmi mengakui dan mengukur upaya mereka dalam meningkatkan dan memelihara kompetensi diri. P2KB sendiri merupakan program komprehensif yang dirancang untuk memelihara, menguatkan, dan memutakhirkan kompetensi para profesional kesehatan. Program ini mencakup berbagai kegiatan, mulai dari pelatihan formal, peningkatan kompetensi non-pelatihan, hingga aktivitas pelayanan keprofesian sehari-hari.

Definisi SKP yang terikat pada "pemeliharaan, penguatan, dan pemutakhiran kompetensi" menunjukkan bahwa SKP bukan sekadar penghitungan kuantitatif dari aktivitas yang dilakukan. Sebaliknya, SKP berfungsi sebagai sebuah indikator kualitas sumber daya manusia kesehatan yang dinamis dan berkembang. Ini mengakui bahwa pengetahuan dan praktik medis terus maju, sehingga para profesional harus senantiasa memperbarui keterampilan mereka agar tetap efektif dan aman dalam memberikan pelayanan. Dengan demikian, SKP menjadi alat vital untuk memastikan bahwa tenaga kesehatan tidak hanya berkualitas saat pertama kali lulus, tetapi juga tetap kompeten dan adaptif sepanjang karier mereka, yang pada gilirannya secara langsung memengaruhi keselamatan pasien dan standar pelayanan secara keseluruhan.

 

Tujuan Pemenuhan SKP: Menjaga Profesionalisme dan Kualitas Pelayanan

Tujuan utama dari pemenuhan SKP adalah untuk terus menjaga dan meningkatkan kompetensi, serta memperbarui keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dengan kompetensi yang terus terasah, para profesional dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal dan berkualitas tinggi kepada masyarakat. Ini adalah inti dari misi pelayanan kesehatan yang berkesinambungan.

Lebih jauh, pemenuhan SKP juga berkontribusi pada peningkatan profesionalisme individu, yang pada gilirannya dapat membuka peluang karier yang lebih baik dan pengembangan diri yang berkelanjutan. SKP juga menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan Sertifikat Kompetensi, sebuah dokumen penting yang diperlukan untuk resertifikasi dan perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR). Meskipun SKP sering kali dipandang sebagai sebuah persyaratan untuk perizinan praktik, tujuan-tujuan yang disebutkan—seperti "pelayanan kesehatan yang optimal," "peningkatan profesionalisme," dan "peluang karier"—menggambarkan sebuah visi yang melampaui kepatuhan administratif semata. Kebijakan ini secara implisit bertujuan untuk menumbuhkan budaya perbaikan berkelanjutan dan keunggulan dalam profesi kesehatan. SKP diposisikan bukan hanya sebagai rintangan yang harus dilalui, tetapi sebagai jalur menuju peningkatan kapasitas individu dan hasil kesehatan kolektif yang lebih baik. Hal ini menunjukkan niat strategis untuk mengangkat seluruh tenaga kesehatan, menjadikan SKP sebagai investasi dalam sumber daya manusia yang menghasilkan keuntungan bagi kesejahteraan publik dan kemajuan profesional.

 

Landasan Hukum Terbaru: Implikasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Aturan Turunannya (KMK No. HK.01.07/Menkes/1561/2024)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan 2023) menjadi payung hukum utama yang mengamanatkan pemenuhan SKP sebagai salah satu persyaratan perpanjangan SIP, sebagaimana diatur dalam Pasal 264. Kehadiran UU ini membawa perubahan signifikan dalam kerangka regulasi kesehatan di Indonesia.

Sebagai aturan pelaksana yang lebih detail dan operasional, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No. HK.01.07/Menkes/1561/2024 tentang Pedoman Pengelolaan Pemenuhan Kecukupan SKP bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. KMK ini mulai berlaku secara efektif pada tanggal 20 September 2024, menandai dimulainya era baru dalam pengelolaan SKP yang sepenuhnya berada di bawah regulasi Kemenkes.

Penerbitan dan pemberlakuan KMK No. HK.01.07/Menkes/1561/2024 secara langsung menjawab permasalahan ketidakpastian regulasi dan "kesimpangsiuran" yang sempat melanda para profesional kesehatan setelah disahkannya UU Kesehatan 2023. KMK ini berfungsi sebagai cetak biru operasional, memberikan kejelasan yang sangat dibutuhkan tentang bagaimana SKP harus dikelola dan dipenuhi di bawah kerangka hukum yang baru. Hal ini menandakan respons aktif Kemenkes terhadap umpan balik dari lapangan dan komitmennya untuk membangun proses yang jelas dan terstandardisasi, sehingga mengurangi kecemasan dan potensi ketidakpatuhan yang timbul dari ambiguitas regulasi. Pedoman ini secara komprehensif mencakup tiga ranah pemenuhan SKP—pembelajaran, pelayanan, dan pengabdian—serta menetapkan standar pemenuhan yang harus diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan.




Ranah Pemenuhan SKP: Jalur Menuju Kompetensi Berkelanjutan

Pemenuhan SKP merupakan proses yang terstruktur dan terbagi menjadi tiga ranah utama: pembelajaran, pelayanan, dan pengabdian. Setiap ranah memiliki bobot dan jenis kegiatan yang berbeda, namun semuanya esensial untuk mencapai kecukupan SKP yang disyaratkan.

 

Konsep Pemenuhan SKP

SKP harus dikumpulkan dalam kurun waktu lima tahun, yang disesuaikan dengan masa berlaku SIP masing-masing tenaga medis dan tenaga kesehatan. Hal ini menegaskan bahwa pemenuhan SKP adalah proses berkelanjutan yang terikat erat dengan legalitas praktik seorang profesional kesehatan. Bagi mereka yang tidak berhasil mencapai kecukupan SKP dalam periode 5 tahun tersebut, mereka dihadapkan pada kewajiban untuk mengikuti ujian kompetensi sebagai syarat untuk memperpanjang SIP mereka. Ini adalah mekanisme pengamanan yang vital untuk memastikan bahwa kompetensi tetap terjaga, bahkan jika akumulasi SKP melalui kegiatan rutin tidak terpenuhi.

Selain target total SKP selama lima tahun, terdapat pula kewajiban pemenuhan SKP tahunan, yaitu minimal 20% dari persentase minimum ranah pembelajaran. Ketentuan ini dirancang untuk mendorong pembelajaran yang konsisten sepanjang tahun, mencegah praktik penumpukan kegiatan di akhir periode. Kombinasi antara siklus 5 tahunan, ujian kompetensi wajib bagi yang tidak patuh, dan persyaratan pembelajaran tahunan ini mengubah SKP menjadi sebuah mekanisme evaluasi profesional berkelanjutan dan pendorong kepatuhan proaktif yang tangguh. Ini bukan sekadar akumulasi kredit pasif; sistem ini mendorong para profesional untuk terlibat secara teratur dalam kegiatan pembelajaran dan memberikan konsekuensi yang signifikan—ujian kompetensi, bahkan potensi kehilangan SIP—bagi mereka yang gagal mengikuti perkembangan. Sistem ini dirancang untuk mencegah upaya pemenuhan SKP di menit-menit terakhir dan memastikan tingkat kompetensi yang konsisten sepanjang karier seorang profesional, menjadikannya jaminan kualitas yang lebih kuat.

 

Ranah Pembelajaran: Mengasah Ilmu di Kelas dan Webinar

Ranah pembelajaran merupakan tulang punggung pengembangan kompetensi, dengan kewajiban minimal 45% dari total SKP dalam periode 5 tahun untuk kondisi umum. Namun, dalam kondisi khusus, persentase minimum ini dapat disesuaikan menjadi 25%, memberikan fleksibilitas sesuai situasi.

SKP dalam ranah ini dapat diperoleh melalui berbagai kegiatan pendidikan berkelanjutan, seperti seminar, lokakarya, simposium, dan pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah terakreditasi oleh Kementerian Kesehatan. Salah satu inovasi penting adalah pemanfaatan Platform Digital Pembelajaran Kesehatan, yaitu Plataran Sehat, yang menjadi kanal utama untuk mengakses kegiatan pembelajaran ber-SKP. Promosi webinar sebagai alternatif yang fleksibel juga menjadi bagian dari strategi ini.

Nilai SKP yang diperoleh bervariasi tergantung pada jenis kegiatan, cakupan dan durasi. Misalnya, 1 Jam Efektif Pembelajaran (JEP) setara dengan 0.5 SKP untuk kegiatan lokal, dan dapat mencapai 4 SKP untuk kegiatan internasional, sementara Jam Pembelajaran Pelatihan (JPL) memiliki perhitungan yang berbeda. Penekanan kuat pada platform pembelajaran digital seperti Plataran Sehat dan promosi webinar merupakan langkah strategis Kemenkes untuk mendemokratisasi akses terhadap pengembangan profesional berkelanjutan dan menstandardisasi peluang pembelajaran. Ini mengatasi tantangan historis berupa hambatan geografis dan kendala waktu bagi para profesional kesehatan, terutama mereka yang berada di daerah terpencil atau memiliki jadwal klinis yang padat. Dengan memusatkan pembelajaran pada platform terakreditasi, Kemenkes bertujuan untuk memastikan kualitas konten pendidikan yang konsisten dan menyederhanakan proses perolehan SKP, menjadikannya lebih efisien dan merata di seluruh negeri.

 

Ranah Pelayanan: Dedikasi di Garda Terdepan Kesehatan

Ranah pelayanan memiliki komposisi minimal 35% dari total SKP dalam 5 tahun untuk kondisi umum. Namun, untuk kondisi khusus, persentase ini meningkat menjadi 55%, menunjukkan penekanan lebih pada praktik langsung dan pengalaman klinis.

SKP dari ranah ini diperoleh melalui aktivitas profesionalisme yang dibuktikan dengan rekapitulasi kegiatan dalam logbook pelayanan profesi yang tervalidasi oleh fasilitas kesehatan, dinas kesehatan, atau pihak terkait lainnya. Jenis kegiatan yang diakui sangat beragam, mencakup:

  • Pemeriksaan/diagnosis.

  • Tindakan intervensi keprofesian tertentu.

  • Pelayanan administratif keprofesian.

  • Penapisan/pemeriksaan kesehatan (Medical Check-Up/MCU).

  • Pembuatan ekspertise di bidang keprofesiannya.

  • Kegiatan yang berhubungan dengan medikolegal (misalnya, pembuatan visum et repertum, keterangan ahli, atau saksi ahli).

  • Pengamatan epidemiologi (surveilans).

  • Penanggulangan KLB/Wabah/Bencana.

Nilai SKP yang diberikan untuk setiap kegiatan bervariasi, bergantung pada kompleksitas dan volume pelayanan yang diberikan.

 

Ranah Pengabdian: Berbakti untuk Masyarakat

Ranah pengabdian memiliki komposisi minimal 5% dari total SKP dalam 5 tahun, baik untuk kondisi umum maupun khusus. Meskipun persentasenya relatif kecil dibandingkan ranah lain, ranah ini memiliki bobot moral dan sosial yang tinggi, menekankan peran sosial tenaga kesehatan.

Kegiatan yang termasuk dalam ranah ini meliputi pengabdian kepada masyarakat melalui kegiatan sosial, edukasi kesehatan, dan keterlibatan dalam penanggulangan bencana. Contoh spesifik kegiatan meliputi:

  • Pelayanan medis atau pengobatan massal untuk masyarakat (dapat berskala lokal hingga nasional).

  • Penyuluhan kesehatan, termasuk melalui media sosial, yang dianggap dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan keprofesian.

  • Penugasan khusus dari pemerintah.

  • Keterlibatan dalam tim khusus, seperti relawan bencana atau tim haji.

  • Keterlibatan dalam organisasi keilmuan atau organisasi masyarakat yang relevan dengan kompetensi keprofesian.

Pencantuman ranah "Pengabdian" yang bersifat wajib, meskipun dengan persentase yang lebih kecil, menunjukkan penekanan Kemenkes pada dimensi tanggung jawab sosial dan etika profesi tenaga kesehatan, melampaui keahlian klinis dan akademis mereka. Ini mencerminkan visi kebijakan yang memandang kesehatan bukan hanya sebagai layanan teknis, tetapi sebagai bagian integral dari kesejahteraan masyarakat. Dengan memberikan insentif pada kegiatan seperti edukasi publik, bantuan bencana, dan keterlibatan sosial, sistem SKP bertujuan untuk menumbuhkan pendekatan kesehatan yang lebih holistik dan berorientasi pada komunitas, menyelaraskan pengembangan profesional dengan tujuan kesehatan masyarakat yang lebih luas dan memperkuat komitmen etis untuk melayani bangsa.

Rangkuman Persentase Minimal SKP per Ranah dan Total SKP per Profesi

Selain kondisi umum, terdapat pula kondisi khusus dalam pemenuhan SKP, yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan untuk memberikan fleksibilitas sesuai kebutuhan. Dalam kondisi khusus ini:

  • Ranah Pembelajaran: Minimal 25% dari total SKP profesi dalam 5 tahun.

  • Ranah Pelayanan: Minimal 55% dari total SKP profesi dalam 5 tahun.

  • Ranah Pengabdian: Minimal 5% (tetap sama dengan kondisi umum).

  • Sisa persentase dapat dikumpulkan dari ranah manapun.

Pendekatan yang berbeda ini, dengan persentase pembelajaran yang lebih rendah dan pelayanan yang lebih tinggi dalam "kondisi khusus," menunjukkan desain kebijakan yang bernuansa dan adaptif. Hal ini mengakui bahwa tidak semua profesional kesehatan beroperasi dalam keadaan yang sama; beberapa mungkin memiliki akses terbatas ke peluang pembelajaran formal—misalnya di daerah terpencil atau dengan jadwal klinis yang sangat padat. Dengan memberikan fleksibilitas ini, Kemenkes bertujuan untuk membuat pemenuhan SKP lebih adil dan realistis, memastikan bahwa persyaratan tidak membebani kelompok profesional tertentu secara tidak proporsional, sehingga mendorong kepatuhan yang lebih luas dan mempertahankan tenaga kerja yang beragam.

 

Navigasi Sistem Digital SKP Kemenkes: Plataran Sehat dan SKP Platform

Transformasi digital telah merambah sektor kesehatan, termasuk dalam pengelolaan SKP. Kementerian Kesehatan telah meluncurkan dan mengintegrasikan beberapa platform digital untuk memudahkan proses pemenuhan dan verifikasi SKP bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan.

 

Mengenal Plataran Sehat dan SatuSehat SDMK

Plataran Sehat merupakan inovasi digital dari Kementerian Kesehatan yang dirancang khusus untuk meningkatkan kompetensi Tenaga Kesehatan di seluruh Indonesia. Platform ini adalah hasil dari upaya transformasi digital Kemenkes untuk menghadapi tantangan di bidang kesehatan, menyediakan akses mudah ke berbagai materi pembelajaran. Bersamaan dengan itu, SKP Platform hadir sebagai antarmuka terbaru yang dirancang untuk memudahkan proses penginputan kegiatan dari ketiga ranah SKP.

Kedua platform ini terintegrasi secara erat dengan ekosistem SatuSehat SDMK, sebuah sistem informasi sumber daya manusia kesehatan milik Kemenkes. Integrasi ini memastikan bahwa seluruh capaian SKP tercatat secara terpusat dan terorganisir, menciptakan sebuah "milestone capaian SKP 5 tahunan" yang dapat diakses melalui profil SatuSehat SDMK. Pergeseran strategis menuju ekosistem yang sepenuhnya digital ini, yang berpusat pada Plataran Sehat, SKP Platform, dan SatuSehat SDMK, menunjukkan komitmen Kemenkes untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya manusia kesehatan. Dengan memusatkan data dan menyederhanakan proses secara daring, sistem ini bertujuan untuk mengurangi hambatan birokrasi, meminimalkan kesalahan manual, dan menciptakan jejak audit yang lebih kuat untuk pemenuhan SKP. Infrastruktur digital ini dirancang tidak hanya untuk memfasilitasi kepatuhan, tetapi juga untuk menyediakan fondasi data yang kuat untuk perumusan kebijakan dan penjaminan kualitas, bergerak menuju lingkungan regulasi yang lebih modern dan responsif.

 

Panduan Penggunaan dan Penginputan SKP

Proses penggunaan Plataran Sehat dan SKP Platform melibatkan beberapa langkah penting:

  1. Pendaftaran Akun: Pengguna perlu mendaftar akun di Plataran Sehat, yang akan mengarahkan mereka ke website SatuSehat SDMK untuk melengkapi informasi dan memverifikasi email.

  2. Login Melalui SatuSehat SDMK: Setelah pendaftaran, pengguna dapat login melalui SatuSehat SDMK menggunakan email dan kata sandi. Jika diminta, profil harus dilengkapi, termasuk nomor STR, yang kemudian akan disinkronkan dengan data kompetensi.

  3. Penautan Akun ke SKP Platform: Setelah profil di SatuSehat SDMK lengkap, pengguna dapat menautkan akun mereka ke SKP Platform. Ini akan membuka dashboard pengelolaan SKP.

  4. Mencari dan Mengikuti Pembelajaran: Di Plataran Sehat (LMS Kemenkes), pengguna dapat mencari berbagai webinar atau pelatihan yang ingin diikuti. Setelah mendapatkan akses (terutama untuk pembelajaran "tertutup"), mereka dapat memulai belajar dan mengisi kuis hingga selesai.

  5. Klaim dan Penginputan SKP: Setelah menyelesaikan pembelajaran di Plataran Sehat dan mengunduh sertifikat, SKP akan otomatis tersinkronisasi ke SKP Platform. Untuk kegiatan di luar Plataran Sehat (misalnya, pelayanan atau pengabdian masyarakat), sertifikat atau bukti kegiatan harus diunggah secara manual ke SKP Platform dalam bentuk PDF (maksimal 250 KB per file).

 

Mekanisme Verifikasi dan Tantangannya

Setelah data diinput, baik secara otomatis dari Plataran Sehat maupun manual, kegiatan tersebut akan masuk ke menu "Buku Log" di SKP Platform dan menunggu validasi oleh tim validator dari Kemenkes. Verifikasi SKP, terutama untuk ranah profesionalisme dan pengabdian masyarakat, diprioritaskan bagi tenaga medis/kesehatan yang SIP-nya akan berakhir dalam 6 bulan. Proses verifikasi ini biasanya memakan waktu hingga dua minggu.

Namun, perjalanan digitalisasi ini tidak luput dari tantangan. Beberapa profesional kesehatan mengeluhkan kendala dalam mengakses aplikasi SDMK, SKP Platform, dan Plataran Sehat, serta masalah verifikasi yang belum otomatis atau memakan waktu lama. Ada juga kasus di mana SKP yang sudah terpenuhi di SKP Platform belum terupdate di skp.kemkes.go.id. Tim verifikasi Kemenkes juga dilaporkan belum banyak, sehingga disarankan untuk mengunggah sertifikat secara sekaligus daripada satu per satu.

Peran sentral validasi digital dalam ekosistem SKP yang baru sangatlah penting. Mekanisme verifikasi, meskipun masih menghadapi tantangan implementasi, merupakan komponen krusial untuk memastikan integritas dan keabsahan SKP yang dilaporkan. Sistem ini dirancang untuk meminimalkan potensi manipulasi dan memastikan bahwa setiap kredit yang diperoleh benar-benar mencerminkan partisipasi dan peningkatan kompetensi yang sah. Proses validasi digital ini, meskipun memerlukan waktu dan sumber daya, adalah penjamin kualitas terakhir dalam sistem SKP yang terintegrasi, menegaskan komitmen Kemenkes terhadap akuntabilitas dan kepercayaan publik.

 

Tantangan di Balik Kecukupan SKP: Realita di Lapangan

Meskipun sistem SKP Kemenkes dirancang untuk meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan, implementasinya di lapangan tidak lepas dari berbagai tantangan. Realitas ini sering kali menjadi batu sandungan bagi para profesional dalam memenuhi kewajiban mereka.

Ketidakjelasan Regulasi di Masa Transisi

Setelah disahkannya UU No. 17 Tahun 2023, terdapat periode di mana aturan turunan mengenai SKP belum sepenuhnya dirilis, menyebabkan kesimpangsiuran dan kebingungan di kalangan tenaga kesehatan. Meskipun KMK No. HK.01.07/Menkes/1561/2024 telah diterbitkan, proses adaptasi dan pemahaman terhadap regulasi baru ini masih memerlukan waktu.

 

Kendala Teknis dan Aksesibilitas Platform Digital

Implementasi sistem digital seperti Plataran Sehat dan SKP Platform menghadapi kendala teknis yang signifikan. Keluhan mengenai sulitnya mengakses aplikasi, sistem yang sering kali "down," dan proses penginputan data yang rumit masih sering terdengar. Selain itu, masalah verifikasi SKP yang belum otomatis atau memakan waktu lama juga menjadi sorotan. Misalnya, banyak SKP yang diinput pada Platform SKP belum mendapat verifikasi dan konversi SKP Kemenkes, padahal SIP harus segera diperpanjang. Kurangnya tim verifikasi dari Kemenkes juga memperpanjang waktu tunggu validasi.

 

Keterbatasan Pilihan Kegiatan Pembelajaran

Salah satu kritik utama adalah ketersediaan kegiatan pembelajaran yang relevan, terutama bagi dokter spesialis. Beberapa profesional mengeluhkan bahwa Plataran Sehat tidak menyediakan kegiatan pembelajaran atau ilmiah yang berhubungan dengan kompetensi spesifik mereka, menyebabkan kecemasan dan kerugian. Hal ini menghambat mereka untuk mengumpulkan kecukupan SKP sesuai bidang keahliannya. Kendala ini diperparah dengan adanya "rebutan kuota" pada seminar dan webinar gratis yang diselenggarakan, menunjukkan bahwa kapasitas penyedia pembelajaran masih belum mencukupi kebutuhan seluruh tenaga kesehatan.

 

Dampak Ketidakpatuhan dan Sanksi

Konsekuensi tidak terpenuhinya kecukupan SKP sangat serius. Secara otomatis, SIP tenaga medis dan tenaga kesehatan akan terganggu atau bahkan tidak dapat diperpanjang. Ini berarti mereka tidak bisa berpraktik secara sah, yang pada gilirannya akan menghambat pelayanan kesehatan di Indonesia. Lebih jauh, praktik tanpa STR dan/atau SIP dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), sebagaimana diatur dalam Pasal 312 huruf c UU No. 17 Tahun 2023.

 

Praktik Percaloan SKP

Di tengah kerumitan dan tantangan pemenuhan SKP, muncul pula praktik percaloan SKP. Kementerian Kesehatan telah menindak tiga tenaga kesehatan yang diduga menjadi calo SKP, yang menawarkan jasa untuk mendapatkan SKP melalui media sosial dan grup WhatsApp dengan bayaran tertentu. Praktik ini tidak hanya merugikan secara finansial tetapi juga merusak integritas sistem SKP dan kualitas tenaga kesehatan.

 

Tantangan di Daerah Terpencil dan Perbatasan (DTPK)

Tenaga kesehatan di DTPK menghadapi tantangan ganda. Selain kendala umum, mereka sering kali memiliki akses terbatas terhadap infrastruktur, internet, dan fasilitas medis yang memadai. Hal ini secara langsung memengaruhi kemampuan mereka untuk mengakses platform pembelajaran digital dan mengikuti kegiatan yang menghasilkan SKP. Keterbatasan tenaga medis di DTPK juga berarti mereka mungkin memiliki beban kerja yang lebih tinggi, menyisakan sedikit waktu untuk pengembangan profesional.

Kesenjangan digital dan geografis ini menjadi penghambat utama dalam pemerataan akses terhadap pengembangan kompetensi. Meskipun digitalisasi bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas, kenyataannya, infrastruktur yang tidak merata di seluruh Indonesia menciptakan jurang pemisah. Tenaga kesehatan di DTPK, yang seharusnya menjadi prioritas dalam peningkatan kapasitas, justru paling terhambat oleh masalah konektivitas dan ketersediaan fasilitas. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan akses dan efektivitas kebijakan SKP dalam konteks geografis Indonesia yang beragam.

 

Inisiatif dan Solusi Kemenkes: Menjawab Tantangan SKP

Menyadari berbagai tantangan yang dihadapi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam memenuhi kecukupan SKP, Kementerian Kesehatan telah meluncurkan berbagai inisiatif dan solusi. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menyederhanakan proses, meningkatkan aksesibilitas, dan memastikan kualitas SDM kesehatan.

 

Klarifikasi Regulasi dan Pedoman

Sebagai respons terhadap kesimpangsiuran yang muncul pasca-UU Kesehatan 2023, Kemenkes telah menerbitkan KMK No. HK.01.07/Menkes/1561/2024. KMK ini berfungsi sebagai pedoman pengelolaan pemenuhan kecukupan SKP yang komprehensif, mencakup ranah pembelajaran, pelayanan, dan pengabdian, serta menetapkan standar yang harus diikuti. Selain itu, Kemenkes juga mengeluarkan surat edaran (SE) terkait penyelenggaraan perizinan tenaga medis dan tenaga kesehatan pasca-UU No. 17 Tahun 2023, serta SE mengenai pemenuhan SKP untuk penerbitan izin praktik. Upaya ini bertujuan untuk memberikan kejelasan hukum dan operasional bagi seluruh pihak.

 

Peningkatan Akses dan Fungsionalitas Platform Digital

Kemenkes terus berupaya meningkatkan akses dan fungsionalitas Plataran Sehat dan SKP Platform. Tampilan terbaru SKP Platform dirancang untuk mempermudah penginputan kegiatan dari ketiga ranah. Fitur-fitur baru memungkinkan pengguna untuk melengkapi dan memperbaiki data profesi dan kompetensi secara mandiri di SatuSehat SDMK, serta menautkan akun ke SKP Platform dengan lebih mudah.

Meskipun masih ada keluhan mengenai verifikasi yang lambat, Kemenkes memprioritaskan verifikasi bagi tenaga kesehatan yang SIP-nya hampir habis, dengan target waktu sekitar dua minggu. Kemenkes juga menyediakan helpdesk untuk membantu tenaga kesehatan mengatasi kendala, seperti masalah ketidakcocokan periode SIP dan sertifikat saat mengunggah SKP manual.

 

Inisiatif untuk Kegiatan SKP yang Terjangkau dan Merata

Untuk mengatasi tantangan biaya dan keterbatasan kuota, Kemenkes telah mengeluarkan SE yang menginstruksikan lembaga diklat untuk menyelenggarakan kegiatan yang gratis atau berbiaya rendah. Harapannya, dengan meningkatnya persaingan antar lembaga diklat, biaya penyelenggaraan kegiatan bernilai SKP dapat semakin terjangkau. Webinar SKP juga dipromosikan sebagai alternatif yang sangat fleksibel, memungkinkan dokter umum dan spesialis untuk terus belajar tanpa harus meninggalkan tempat praktik mereka yang padat. Ini adalah solusi cerdas untuk meningkatkan kompetensi, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan waktu dan geografis.

Kemenkes juga berupaya meningkatkan akses pelatihan di daerah terpencil. Meskipun tidak ada data spesifik tentang program pelatihan SKP yang khusus untuk daerah terpencil, Kemenkes secara umum berfokus pada pemerataan akses kesehatan di daerah tersebut, termasuk melalui pembangunan rumah sakit dan integrasi layanan primer. Pelatihan penugasan khusus tenaga kesehatan individual di Puskesmas juga diselenggarakan, yang memberikan SKP dan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi di layanan kesehatan primer. Pemanfaatan teknologi, seperti telemedis dan internet di Puskesmas terpencil, juga menjadi bagian dari upaya pemerataan akses.

 

Penindakan Tegas Terhadap Praktik Percaloan SKP

Kemenkes berkomitmen untuk memberantas praktik percaloan SKP. Menteri Kesehatan telah menegaskan bahwa tenaga kesehatan yang terbukti menjadi calo SKP akan dicabut sementara STR dan SIP selama 12 bulan, dan jika terbukti berulang, STR dan SIP akan dicabut seumur hidup. Deteksi praktik anomali ini semakin mudah dengan pembenahan sistem pembelajaran berkelanjutan SKP berbasis online, yang memungkinkan pelacakan aktivitas mencurigakan.

Secara keseluruhan, pendekatan multi-aspek ini untuk peningkatan kepatuhan dan kualitas menunjukkan bahwa Kemenkes tidak hanya berfokus pada penegakan aturan, tetapi juga pada pemberdayaan tenaga kesehatan. Dengan menyediakan platform yang lebih baik, memperjelas regulasi, dan memfasilitasi akses ke pembelajaran yang terjangkau, pemerintah berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan profesional berkelanjutan. Penindakan tegas terhadap pelanggaran juga memperkuat integritas sistem, memastikan bahwa SKP benar-benar mencerminkan kompetensi yang sah dan bukan sekadar komoditas yang diperdagangkan.





Dinamika Peran Organisasi Profesi (OP) Pasca UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023

Peran OP dalam sistem kesehatan Indonesia telah mengalami perubahan signifikan pasca-disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Perubahan ini terutama terasa dalam pengelolaan SKP dan penerbitan SIP.

 

Pergeseran Kewenangan dan Otonomi

Sebelum UU Kesehatan 2023, OP seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) memiliki peran yang sangat dominan dalam pengaturan dan pengelolaan SKP serta proses perizinan. Mereka bertanggung jawab atas program P2KB dan memberikan rekomendasi yang menjadi syarat vital untuk memperoleh SIP.

Namun, dengan UU baru ini, terjadi pergeseran otoritas yang signifikan. Pasal 264 ayat 5 UU Kesehatan 2023 secara eksplisit menyatakan bahwa pengelolaan pemenuhan kecukupan SKP kini dilakukan oleh Menteri Kesehatan. Meskipun Kemenkes menegaskan bahwa OP tidak akan dihilangkan, peran mereka dalam pengaturan tidak lagi diatur oleh pemerintah. Perubahan ini dianggap oleh beberapa pihak sebagai "perampasan legal" kewenangan OP, terutama dalam menentukan persyaratan praktik tenaga kesehatan.

 

Reaksi OP

Pergeseran kewenangan ini memicu reaksi keras dari berbagai OP. Lima OP kesehatan utama (IDI, PPNI, PDGI, IBI, dan IAI) secara kolektif mengajukan uji formil UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai bahwa proses pembentukan undang-undang tersebut cacat secara formil karena tidak adanya keterlibatan dan partisipasi publik yang substansial, atau yang mereka sebut sebagai "meaningful participation". OP berpendapat bahwa sebagai aktor utama dalam pelayanan kesehatan, mereka memiliki hak untuk dipertimbangkan, didengarkan, dan diberikan alasan jika usulan partisipasi mereka tidak diterima.

Kekacauan dalam pengelolaan SKP pasca-UU Kesehatan 2023 juga membuka peluang bagi OP untuk mengajukan uji materiil terhadap pasal-pasal terkait SKP (Pasal 258 dan 264). Mereka berargumen bahwa dominasi OP sebelumnya, meskipun dikritik karena biaya pengurusan izin praktik yang tinggi, justru menjamin etika dan moral yang baik dari calon tenaga kesehatan.

 

Implikasi terhadap P2KB dan Otonomi Profesional

Perubahan ini memiliki implikasi mendalam terhadap P2KB dan otonomi profesional. Jika sebelumnya OP menjalankan fungsi menjaga dan meningkatkan kompetensi anggota sesuai perkembangan iptek kedokteran, kini penyelenggaraan pelatihan dan kegiatan peningkatan kompetensi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau lembaga pelatihan yang terakreditasi oleh Pemerintah Pusat. Beberapa OP merasa tidak diundang dalam sosialisasi akreditasi institusi penyelenggara pelatihan bidang kesehatan, yang dianggap melanggar asas keadilan dan nondiskriminatif.

Redefinisi kemitraan dan otonomi profesi dalam tata kelola kesehatan nasional menjadi isu krusial. Pergeseran ini menunjukkan upaya pemerintah untuk mengambil alih kendali penuh atas standar kompetensi dan perizinan, dengan tujuan mempercepat dan menstandardisasi proses. Namun, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi hilangnya peran OP dalam menjaga etika, kualitas internal, dan pengembangan spesifik profesi yang mungkin lebih memahami kebutuhan anggotanya. Masa depan akan menunjukkan bagaimana keseimbangan baru ini akan memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan dan dinamika hubungan antara pemerintah dan OP.

 

Menuju Tenaga Kesehatan Kompeten dan Berdaya

Kecukupan SKP Kemenkes adalah pilar fundamental dalam upaya menjaga dan meningkatkan kompetensi tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia. Sistem ini dirancang untuk memastikan bahwa para profesional senantiasa memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka, sehingga mampu memberikan pelayanan kesehatan yang optimal dan berkualitas tinggi kepada masyarakat. Landasan hukum terbaru, terutama Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan KMK No. HK.01.07/Menkes/1561/2024, telah membawa transformasi signifikan, memusatkan pengelolaan SKP di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan.

Digitalisasi melalui Plataran Sehat dan SKP Platform merupakan langkah maju yang ambisius untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas dalam pengelolaan SKP. Sistem ini berupaya menyederhanakan proses penginputan dan verifikasi, serta menyediakan akses pembelajaran yang lebih luas. Namun, perjalanan ini tidak tanpa hambatan. Tantangan seperti ketidakjelasan regulasi di masa transisi, kendala teknis pada platform digital, keterbatasan ketersediaan kegiatan pembelajaran yang relevan, dan isu aksesibilitas di daerah terpencil masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Konsekuensi serius dari ketidakpatuhan, termasuk terhambatnya perpanjangan SIP dan sanksi pidana, menggarisbawahi pentingnya pemenuhan SKP.

Kementerian Kesehatan telah menunjukkan komitmennya untuk mengatasi tantangan ini melalui berbagai inisiatif, mulai dari klarifikasi regulasi, peningkatan fitur platform digital, hingga upaya menyediakan kegiatan SKP yang lebih terjangkau dan merata. Penindakan tegas terhadap praktik percaloan juga menjadi bukti keseriusan dalam menjaga integritas sistem. Di sisi lain, dinamika peran OP pasca-UU Kesehatan 2023 tetap menjadi sorotan, dengan adanya pergeseran kewenangan yang memicu reaksi dan perdebatan mengenai otonomi profesional dan partisipasi yang bermakna.

Secara keseluruhan, kecukupan SKP Kemenkes adalah sebuah perjalanan berkelanjutan menuju tenaga kesehatan yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga berdaya, adaptif, dan memiliki komitmen tinggi terhadap pelayanan masyarakat. Ini adalah sebuah upaya kolektif yang membutuhkan sinergi antara pemerintah, fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga medis dan kesehatan itu sendiri, serta OP, untuk memastikan bahwa kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia terus meningkat demi kesejahteraan seluruh rakyat. Ibarat sebuah orkestra, setiap instrumen harus selaras dan setiap pemain harus terus mengasah kemampuannya agar simfoni kesehatan dapat mengalun indah dan memberikan manfaat maksimal bagi seluruh negeri.

Hubungi AIDO sekarang juga untuk mendapatkan konsultasi dan dukungan yang Anda butuhkan dengan mudah!

Bagikan artikel ini    
Isi formulir dibawah untuk berkomunikasi dengan tim kami.