Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan

Ditinjau oleh Harianus Zebua • 04 Dec 2025

Bagikan

Upaya Pemerintah Tingkatkan Pelayanan Kesehatan

Pernahkah Anda duduk di ruang tunggu rumah sakit daerah, menunggu berjam-jam hanya untuk konsultasi lima menit, atau melihat kerabat di desa kesulitan mendapatkan akses ambulans? Jika ya, Anda tidak sendirian. Selama puluhan tahun, wajah pelayanan medis di negeri ini memang penuh bopeng. Namun, pasca-hantaman pandemi COVID-19 yang membuka mata kita semua, ada pergerakan masif yang sedang terjadi. Pemerintah Indonesia tidak lagi berjalan; mereka sedang berlari maraton untuk mengejar ketertinggalan.

Jujur saja, membicarakan upaya negara dalam memperbaiki fasilitas kesehatan (faskes) seringkali terasa membosankan karena penuh dengan jargon birokrasi. Tapi kali ini berbeda. Kita sedang menyaksikan perombakan fondasi yang paling radikal dalam sejarah republik ini. Mari kita bedah apa yang sebenarnya sedang terjadi, bukan dari kacamata humas pemerintah, tapi dari realitas urgensi yang kita rasakan sehari-hari.

Gempa Tektonik Bernama UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023

Kita tidak bisa membahas perbaikan layanan tanpa menyentuh "gajah di pelupuk mata": Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Ini adalah langkah berani—dan harus saya akui, sedikit kontroversial—dari pemerintah.

Dulu, mengurus izin praktik dokter itu sulitnya minta ampun. Birokrasinya berbelit, melibatkan banyak rekomendasi organisasi profesi yang terkadang (maaf kata) sarat kepentingan politis internal. Dengan UU baru ini, pemerintah memangkas jalur itu. Surat Tanda Registrasi (STR) yang tadinya harus diperbarui setiap lima tahun, kini berlaku seumur hidup.

Mengapa ini penting bagi Anda sebagai pasien? Logikanya sederhana: jika dokter tidak disibukkan dengan administrasi perpanjangan izin yang memakan waktu dan biaya, mereka bisa fokus melayani pasien. Selain itu, ini adalah upaya "karpet merah" untuk mempercepat produksi dokter spesialis dan mempermudah dokter diaspora (lulusan luar negeri) untuk pulang kampung dan mengabdi tanpa dipersulit.

Langkah ini ibarat membuka sumbatan pada pipa air yang sudah berkarat; alirannya kini diharapkan lebih lancar untuk membasahi daerah-daerah kering yang kekurangan tenaga medis.

Mengubah Pola Pikir: Mencegah Lebih Murah daripada Mengobati

Selama ini, sistem kita terlalu fokus pada "Kuratif" atau pengobatan. Orang sakit, bawa ke RS, obati. Padahal, beban biaya BPJS Kesehatan jebol karena penyakit katastropik yang sebenarnya bisa dicegah, seperti diabetes, hipertensi, dan gagal ginjal.

Pemerintah kini memutar kemudi. Fokus utama digeser ke Layanan Primer. Puskesmas dan Posyandu sedang direvitalisasi besar-besaran. Tidak hanya bangunan fisik, tapi juga alat diagnostik. Bayangkan, dulu USG itu barang mewah yang hanya ada di RSUD. Sekarang, pemerintah mendistribusikan ribuan alat USG ke Puskesmas di seluruh pelosok. Tujuannya? Agar ibu hamil bisa dipantau sejak dini, menekan angka kematian ibu dan bayi, serta mendeteksi stunting.

Saya melihat ini sebagai langkah cerdas. Memperkuat gawang pertahanan di depan (Puskesmas) jauh lebih efektif daripada sibuk memadamkan kebakaran di belakang (Rumah Sakit). Jika deteksi dini kanker payudara atau serviks bisa dilakukan di level Puskesmas, kita menyelamatkan nyawa dan menghemat triliunan rupiah anggaran negara.

Perang Melawan Pembunuh Utama: KJSU

Jika Anda melihat data kematian di Indonesia, pembunuh utamanya adalah "Empat Serangkai": Kanker, Jantung, Stroke, dan Uronefrologi (Ginjal). Masalahnya, dulu alat canggih seperti Cath Lab (untuk pasang ring jantung) atau MRI hanya menumpuk di Jakarta dan kota besar di Jawa. Orang dari Maluku atau NTT harus terbang ke Jakarta hanya untuk operasi jantung, seringkali nyawanya tidak tertolong di perjalanan atau antrean.

Upaya pemerintah saat ini adalah pemerataan alat canggih tersebut ke RSUD di seluruh provinsi. Targetnya ambisius: setiap provinsi harus bisa menangani operasi jantung terbuka dan bedah saraf. Ini bukan sekadar membeli alat, tapi juga menyiapkan SDM-nya. Dana triliunan digelontorkan untuk upgrade RSUD.

Sebagai pengamat, saya mengapresiasi ini. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu artinya orang di Papua punya kesempatan hidup yang sama dengan orang di Jakarta saat terkena serangan jantung.

Digitalisasi: Bukan Sekadar Gaya-gayaan

Ini adalah bagian yang paling menarik dan relevan dengan perkembangan zaman. Sektor medis kita dipaksa "melek teknologi". Kementerian Kesehatan meluncurkan platform SATUSEHAT. Mimpi besarnya adalah satu data kesehatan nasional. Jadi, jika Anda berobat di Medan, lalu pindah ke Surabaya, dokter di Surabaya tinggal buka sistem dan riwayat penyakit Anda muncul semua. Tidak perlu lagi bawa tumpukan kertas hasil lab yang lecek.

Namun, di sinilah tantangan teknisnya. Mewajibkan Rekam Medis Elektronik (RME) itu mudah di atas kertas, tapi pelaksanaannya di lapangan sangat kompleks. Rumah sakit, mulai dari yang tipe D di pelosok hingga tipe A di pusat kota, harus memiliki sistem manajemen yang proper.

Di sinilah peran vital pengembang teknologi kesehatan swasta masuk untuk mengisi celah yang tidak bisa ditangani pemerintah sendirian. Rumah sakit membutuhkan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) yang tidak hanya mencatat data pasien, tapi juga terintegrasi seamless dengan BPJS, SATUSEHAT, dan sistem logistik obat.

Salah satu pemain yang cukup relevan dalam ekosistem ini adalah AIDO. Sebagai pengembang layanan sistem informasi manajemen rumah sakit dan klinik, solusi seperti yang ditawarkan AIDO menjadi krusial. Mengapa? Karena rumah sakit tidak punya waktu untuk membangun software dari nol. Mereka butuh mitra yang paham alur klinis sekaligus regulasi teknis Kemenkes. AIDO membantu faskes mendigitalisasi operasional mereka, mulai dari pendaftaran pasien, rekam medis, hingga pengelolaan stok obat, sehingga faskes bisa mematuhi regulasi RME pemerintah tanpa pusing memikirkan coding.

Tanpa dukungan sistem manajemen yang handal seperti ini, ambisi digitalisasi pemerintah hanya akan menjadi macan kertas. Data tidak akan mengalir, dan interoperabilitas akan gagal. Jadi, kolaborasi antara regulator (pemerintah) dan inovator teknologi (seperti AIDO) adalah kunci sukses pilar teknologi ini.

Menambal Kebocoran SDM Kesehatan

Kita kekurangan dokter. Titik. Rasio dokter di Indonesia masih di bawah standar WHO (1:1000). Belum lagi distribusinya yang sangat timpang. Dokter spesialis menumpuk di kota besar karena di daerah insentifnya kecil, sarana minim, dan jenjang karir tidak jelas.

Upaya pemerintah melalui beasiswa pendidikan dokter spesialis (LPDP dan Kemenkes) kini dibuka sangat luas. "Produksi" dokter dipercepat melalui sistem hospital based education (pendidikan berbasis rumah sakit), tidak hanya university based. Ini meniru model di luar negeri di mana residen (calon dokter spesialis) belajar dan bekerja langsung di RS serta dibayar, bukan malah membayar biaya kuliah yang mahal.

Meskipun mendapat pertentangan dari beberapa kalangan akademisi lama, menurut saya terobosan ini perlu dicoba. Kita dalam kondisi darurat. Cara-cara konvensional sudah terbukti gagal memenuhi kuota dokter selama puluhan tahun.

Kemandirian Farmasi: Belajar dari Luka Pandemi

Masih ingat saat varian Delta menyerang dan kita kehabisan obat serta oksigen? Itu adalah tamparan keras. Ternyata, 90% bahan baku obat (BBO) kita impor. Kita sangat rapuh.

Sekarang, pemerintah mendorong investasi pabrik bahan baku obat di dalam negeri, khususnya di kawasan industri seperti Cikarang dan Kendal. Ada aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang diperketat untuk pengadaan alat kesehatan di e-Katalog pemerintah. Jika ada produk buatan anak bangsa, RS pemerintah dilarang beli produk impor. Ini proteksi yang bagus untuk menumbuhkan industri alkes lokal, meskipun kualitasnya harus terus dipantau ketat agar tidak merugikan pasien.

Tantangan yang Masih Mengganjal: Sebuah Opini Kritis

Meskipun deretan upaya di atas terdengar manis, kita tidak boleh naif. Tantangan di lapangan bak mengurai benang basah; rumit dan licin.

Pertama, Budaya dan Edukasi. Membangun Puskesmas bagus itu mudah, tapi mengubah pola pikir masyarakat untuk tidak makan gorengan berlebih atau merokok itu susahnya setengah mati. Upaya promotif pemerintah seringkali kalah dengan gempuran iklan rokok dan makanan manis.

Kedua, Kualitas Layanan BPJS. Wacana penghapusan kelas 1, 2, 3 menjadi KRIS (Kelas Rawat Inap Standar) bertujuan untuk kesetaraan. Namun, saya khawatir jika tidak dihitung dengan cermat, ini bisa membuat RS swasta menarik diri dari kerjasama BPJS karena hitungan bisnisnya tidak masuk, atau justru antrean makin panjang karena kapasitas kamar berkurang.

Ketiga, Korupsi. Dana kesehatan itu besar. Pengadaan alat-alat canggih rawan mark-up. Pengawasan harus diperketat. Jangan sampai alat MRI dibeli mahal-mahal tapi mangkrak di RSUD karena listriknya tidak kuat atau tidak ada dokter radiologinya. Ini klasik terjadi di Indonesia.

Kesimpulan: Optimisme yang Terukur

Melihat peta jalan transformasi kesehatan Indonesia saat ini, saya memilih untuk optimis secara hati-hati (cautiously optimistic). Arahnya sudah benar. Regulasi sapu jagat (Omnibus Law) sudah diketok, digitalisasi melalui SATUSEHAT dan dukungan mitra swasta seperti AIDO sudah berjalan, dan fokus pada pencegahan mulai digalakkan.

Namun, regulasi hanyalah kertas jika eksekusinya lemah. Pemerintah butuh konsistensi. Ganti menteri jangan sampai ganti kebijakan lagi. Kesehatan rakyat bukan komoditas politik lima tahunan. Ini adalah investasi jangka panjang untuk mencetak manusia Indonesia yang produktif menuju Indonesia Emas 2045.

Bagi kita masyarakat, dukungannya bukan hanya dengan tepuk tangan, tapi dengan mulai menjaga kesehatan diri sendiri. Karena sebaik apapun fasilitas medis yang disiapkan negara, kasur yang paling nyaman tetaplah kasur di rumah sendiri, bukan kasur rumah sakit.

Tag :
Bagikan artikel ini    
Isi formulir dibawah untuk berkomunikasi dengan tim kami.