Kementerian Kesehatan kembali memperbarui regulasi terkait penyelenggaraan rumah sakit melalui Permenkes terbaru yang menyesuaikan dengan dinamika pelayanan kesehatan modern dan sistem perizinan berbasis risiko. Aturan ini tidak hanya menekankan aspek kepatuhan administratif, tetapi juga mendorong peningkatan mutu layanan, keselamatan pasien, serta transparansi dalam pengelolaan rumah sakit. Bagi para pengelola dan tenaga kesehatan, memahami isi Permenkes terbaru ini menjadi langkah penting untuk memastikan operasional rumah sakit tetap sesuai standar hukum sekaligus mampu beradaptasi dengan tuntutan sistem kesehatan yang semakin terintegrasi secara digital.
Perjalanan sektor perumahsakitan di Indonesia memasuki fase yang paling dinamis dalam sejarah modernnya, didorong oleh akselerasi regulasi yang menjadi konsekuensi langsung dari pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). UU Kesehatan ini berfungsi sebagai payung hukum baru yang mencabut sejumlah undang-undang lama di sektor kesehatan, secara fundamental mengubah kerangka tata kelola dan operasional fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Transformasi ini menuntut adaptasi cepat, bukan hanya dari sisi manajemen klinis, tetapi terutama dari sisi kepatuhan hukum dan infrastruktur.
Keputusan pemerintah untuk memusatkan kembali banyak kewenangan regulasi ke tingkat pusat melalui UU Kesehatan secara otomatis menciptakan kebutuhan mendesak untuk mengisi kekosongan peraturan pelaksana. Akibatnya, rentetan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) telah diterbitkan dalam kurun waktu 2023 hingga 2024, mengatur segala hal mulai dari perizinan, klasifikasi, hingga detail teknis bangunan. Setiap Permenkes terbaru ini adalah penjelas operasional dari visi besar transformasi kesehatan nasional.
Menariknya, di tengah arus perubahan ini, terjadi sebuah fenomena yang patut dicermati. Pemerintah berupaya keras menyederhanakan birokrasi perizinan melalui pendekatan Berbasis Risiko (Risk-Based Approach/RBA) dalam sistem Online Single Submission (OSS). Ini adalah janji kemudahan administratif bagi pelaku usaha, termasuk rumah sakit. Namun, di saat yang sama, tuntutan spesifik dan detail terhadap mutu operasional, infrastruktur, dan keselamatan pasien justru meningkat secara drastis, menetapkan standar yang sangat tinggi. Dalam situasi ini, saya melihat sebuah kemudahan administratif yang berbalas tantangan infrastruktur yang monumental. Ini adalah paradoks regulasi yang harus dicerna dan diselesaikan oleh setiap pengelola rumah sakit di Indonesia.
Regulasi yang terbit pada tahun 2024 secara spesifik menunjukkan fokus pemerintah pada penataan ulang ekosistem rumah sakit, terutama yang berkaitan dengan penguatan fungsi pelayanan spesialistik dan pendidikan. Contoh nyata dari percepatan regulasi ini adalah terbitnya Permenkes yang sangat fokus pada aspek spesialisasi.
Beberapa Permenkes kunci yang diterbitkan pada tahun 2024 mencakup:
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2024 tentang Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama. Regulasi ini menggarisbawahi upaya penguatan peran RS dalam pengembangan sumber daya manusia kesehatan dan riset, yang secara tidak langsung menuntut standar fasilitas dan kompetensi klinis yang jauh lebih tinggi.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2024. Kedua regulasi ini menjadi turunan penting, kemungkinan besar menyangkut penyesuaian prosedur perizinan dan tata kelola di bawah kerangka OSS-RBA pasca-UU 17/2023.
Tingginya frekuensi penerbitan Permenkes spesifik dalam periode singkat ini menegaskan adanya urgensi pemerintah untuk segera merumuskan peraturan pelaksana. UU Kesehatan 17/2023 mencabut atau mengubah banyak ketentuan lama. Jika peraturan pelaksana (PP dan PMK) tidak segera diterbitkan, akan terjadi kekosongan regulasi yang berisiko mengganggu kepastian hukum dan operasional rumah sakit. Oleh karena itu, rumah sakit saat ini berada dalam periode krusial, di mana mereka harus siap menghadapi dinamika regulasi yang cepat dan sporadis, sekaligus menyelaraskan strategi jangka panjang mereka dengan standar mutu yang baru ditetapkan.
Artikel ini akan membedah tiga pilar perubahan fundamental yang diatur dalam Permenkes terbaru: (1) Pergeseran Klasifikasi dan Perizinan Berbasis Kompetensi, (2) Kewajiban Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) sebagai standar mutu minimum, dan (3) Standar Teknis Infrastruktur wajib melalui PMK Nomor 40 Tahun 2022.
Sistem klasifikasi rumah sakit di Indonesia sebelumnya didasarkan pada Kelas A, B, C, dan D, yang diatur, salah satunya, dalam Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Sistem lama ini sering kali berfokus pada persyaratan administratif, jumlah tempat tidur, dan ketersediaan layanan dasar serta spesialis dasar (seperti Penyakit Dalam, Anak, dan Bedah). Meskipun bertujuan baik, sistem kelas ini kerap menimbulkan polemik, di mana rumah sakit mungkin dipromosikan ke kelas yang lebih tinggi secara administratif tanpa didukung oleh kualitas dan kompetensi layanan yang memadai.
Namun, arah kebijakan terbaru menunjuk pada pergeseran fundamental. Klasifikasi kini diarahkan dari basis Kelas (A/B/C/D) menuju klasifikasi berdasarkan Jenis Pelayanan Rumah Sakit atau Kompetensi Layanan. Klasifikasi baru ini mencakup kategori Paripurna, Utama, Madya, dan Dasar. Perubahan ini bukan sekadar mengganti label. Ini adalah upaya sistematis untuk memaksa transparansi fungsional dan penguatan sistem rujukan berbasis kemampuan riil rumah sakit.
Pergantian paradigma ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi sistem rujukan. Jika klasifikasi lama sering diwarnai isu promosi kelas yang tidak sejalan dengan realitas mutu, sistem baru menuntut rumah sakit untuk secara eksplisit dan transparan menyatakan layanan klinis yang benar-benar mereka kuasai. Logikanya sederhana: pasien dengan kasus kompleks yang membutuhkan layanan Paripurna tidak akan menghabiskan waktu di rumah sakit dengan kompetensi Madya atau Dasar. Dengan demikian, perubahan ini berfungsi sebagai mitigasi risiko layanan dan merupakan langkah maju dalam meningkatkan keselamatan pasien (patient safety). Rumah sakit ditantang untuk fokus pada keunggulan kompetensi mereka, bukan sekadar mengejar status kelas tertinggi.
Sejalan dengan semangat reformasi birokrasi, sistem perizinan rumah sakit kini diintegrasikan sepenuhnya melalui platform Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA). Sistem ini, yang berlandaskan pada Undang-Undang Cipta Kerja, memberikan perizinan berusaha kepada pelaku usaha berdasarkan tingkat risiko kegiatan usahanya. Permenkes terbaru tahun 2024, termasuk Permenkes 9/2024 dan 17/2024, secara khusus memastikan sinkronisasi antara standar kesehatan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan dengan prosedur digitalisasi perizinan yang dijalankan oleh OSS.
Dari perspektif administrasi, sistem OSS-RBA menawarkan kecepatan luar biasa; Nomor Induk Berusaha (NIB) dapat terbit di hari yang sama setelah permohonan selesai. Namun, kecepatan ini memiliki harga: kepatuhan harus dipenuhi sejak awal. Rumah sakit tidak dapat lagi menunda pemenuhan komitmen, khususnya pada kegiatan usaha yang dinilai berisiko tinggi. Sesuai dengan prinsip OSS-RBA, Izin Berusaha Efektif (yang memungkinkan RS beroperasi) hanya akan diterbitkan setelah RS dapat membuktikan bahwa mereka telah memenuhi seluruh persyaratan dasar, termasuk standar infrastruktur dan sumber daya manusia yang diatur dalam Permenkes turunan.
Sistem OSS-RBA juga memiliki kaitan erat dengan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Permenkes Nomor 26 Tahun 2022 mengatur persyaratan SDM Rumah Sakit. Dalam kerangka OSS, rumah sakit diwajibkan melaporkan data ketenagaan secara detail, termasuk status kepegawaian (tetap, tidak tetap, atau mitra) dan detail Surat Izin Praktik (SIP). Pelaporan ini bahkan harus mencakup detail rumah sakit ke-1, ke-2, dan ke-3 tempat Nakes tersebut berpraktik, memastikan bahwa izin praktik tenaga kesehatan tidak tumpang tindih atau melanggar regulasi waktu praktik.
Penyederhanaan perizinan melalui OSS-RBA seharusnya diterima dengan antusiasme. Namun, para pengelola rumah sakit harus memahami bahwa fokus perizinan telah bergeser dari pemeriksaan birokratis yang panjang menjadi verifikasi data kepatuhan yang ketat dan berbasis risiko. Jika rumah sakit gagal memastikan kelengkapan infrastruktur, SDM, dan tata kelola sudah memenuhi standar tinggi, Izin Berusaha Efektif mereka dapat dicabut atau dibatalkan. Ini menuntut RS untuk memiliki compliance officer yang memahami sistem digital dan regulasi kesehatan secara mendalam.
Tidak ada regulasi yang mendapatkan perhatian sebesar Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam sektor perumahsakitan saat ini. KRIS merupakan manifestasi nyata dari amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), khususnya Pasal 23 ayat (4) yang mewajibkan bahwa pelayanan rawat inap di rumah sakit harus diberikan berdasarkan "kelas standar". Kebijakan ini secara bertahap dirancang untuk menggantikan sistem kelas rawat inap 1, 2, dan 3 yang selama ini diterapkan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.
Pemerintah telah menetapkan peta jalan yang jelas untuk implementasi KRIS. Setelah melalui fase uji coba, KRIS direncanakan akan diberlakukan secara penuh pada tahun 2025. Keputusan ini menempatkan tahun 2025 sebagai tahun yang paling krusial bagi keberlangsungan kerjasama rumah sakit dengan BPJS Kesehatan. Kepatuhan terhadap standar KRIS bukan lagi pilihan, melainkan syarat mutlak operasional bagi rumah sakit yang melayani peserta JKN.
Untuk memahami magnitude tantangan KRIS, penting untuk melihat data kesiapan rumah sakit di Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024, total jumlah rumah sakit di Indonesia adalah sekitar 3.155 (terdiri dari 2.636 rumah sakit umum dan 519 rumah sakit khusus). Dari jumlah ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada pertengahan tahun 2024 menyebutkan bahwa terdapat sekitar 2.700 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan yang wajib menerapkan KRIS.
Data kesiapan yang dipaparkan oleh Menteri Kesehatan menunjukkan adanya disparitas yang signifikan:
Sebanyak 1.436 rumah sakit telah dilaporkan memenuhi standar 12 kriteria KRIS.
Sebanyak 786 rumah sakit telah memenuhi antara 9 hingga 11 kriteria.
Namun, terdapat sekitar 300 rumah sakit yang masih menghadapi masalah signifikan dan belum mampu memenuhi kriteria KRIS.
Pemerintah menargetkan bahwa hampir 90 persen dari rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dapat memenuhi semua kriteria pada akhir tahun 2025. Namun, angka 300 rumah sakit yang tertinggal ini merepresentasikan tantangan besar, terutama mengingat pendeknya waktu yang tersisa untuk melakukan perombakan infrastruktur yang masif.
Kewajiban kepatuhan terhadap KRIS diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2023 dan Permenkes turunannya. Ada 12 kriteria fasilitas rawat inap yang harus dipenuhi oleh setiap rumah sakit, yang bertujuan untuk menjamin standar kualitas pelayanan yang merata bagi seluruh peserta JKN. Pemenuhan 12 kriteria ini adalah kunci untuk keberlangsungan kerjasama dengan JKN di masa depan.
Berikut adalah 12 kriteria KRIS dan penilaian kritis terhadap tantangan implementasinya:
Kriteria Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dan Tantangan Utama
No. | Kriteria KRIS | Fokus Regulasi | Tantangan Implementasi Utama |
1 | Komponen Bangunan | Bangunan tidak boleh memiliki tingkat porositas tinggi (mudah dibersihkan). | Membutuhkan penggantian material dinding dan lantai pada RS lama. |
2 | Ventilasi Udara | Memenuhi standar minimal (minimal 6 kali pertukaran udara per jam). | Memerlukan investasi besar pada sistem mekanikal ventilasi (HVAC) yang canggih. |
3 | Pencahayaan | Pencahayaan ruangan memadai (sesuai standar lux). | Desain ulang tata letak dan penambahan sistem pencahayaan yang spesifik. |
4 | Kelengkapan Tempat Tidur | Harus tersedia bedside cabinet, minimal dua stop kontak, dan lampu baca per tempat tidur. | TANTANGAN INFRASTRUKTUR TERBERAT karena melibatkan kapasitas daya listrik dan instalasi yang masif. |
5 | Tenaga Kesehatan | Rasio Nakes per tempat tidur harus terpenuhi. | Sulit dipenuhi di daerah, terkait dengan masalah distribusi dan ketersediaan SDM.11 |
6 | Temperatur Ruangan | Suhu ideal 20-26 derajat Celsius. | Kebutuhan sistem pendingin udara (AC) sentral yang stabil dan andal. |
7 | Pembagian Ruangan | Ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, usia (anak/dewasa), dan jenis penyakit (infeksi/non-infeksi). | Kebutuhan zonasi ulang, seringkali harus menambah kamar isolasi/kohort. |
8 | Kepadatan Ruang | Maksimal 4 tempat tidur dalam satu ruangan, dengan luas minimal yang diatur. | Memaksa banyak RS mengurangi kapasitas tempat tidur total untuk mencapai standar luas per pasien. |
9 | Tirai/Partisi | Penyediaan tirai atau partisi yang menjamin privasi antar tempat tidur. | Kebutuhan privasi pasien yang harus terstandardisasi, bukan tirai kain biasa. |
10 | Kamar Mandi | Kewajiban kamar mandi di dalam ruangan rawat inap. | Memerlukan perombakan struktural untuk menambah plumbing dan tata letak kamar mandi di setiap kamar. |
11 | Aksesibilitas Kamar Mandi | Kamar mandi harus memenuhi standar aksesibilitas (disabilitas). | Desain ulang kamar mandi sesuai standar keselamatan dan penggunaan disabilitas (luas, pegangan tangan, dll). |
12 | Outlet Oksigen | Kewajiban outlet oksigen per tempat tidur. | Membutuhkan instalasi sistem gas medik sentral yang mahal dan kompleks. |
Secara teknis, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah menyoroti bahwa kriteria KRIS yang paling sulit dipenuhi adalah kelengkapan tempat tidur, terutama ketersediaan dua stop kontak listrik per tempat tidur. Permasalahan ini bukan hanya tentang biaya membeli stop kontak. Ini adalah masalah mendasar yang terkait langsung dengan Permenkes lain, yaitu Permenkes 40 Tahun 2022 tentang Persyaratan Teknis Bangunan.
Tuntutan untuk menyediakan outlet oksigen dan stop kontak ganda per tempat tidur (Kriteria 4 dan 12) menyingkap fakta bahwa banyak rumah sakit yang beroperasi saat ini dibangun dengan infrastruktur daya listrik dan gas medik yang sudah usang atau tidak memadai untuk kebutuhan perawatan intensif modern. Menambah stop kontak di kamar rawat inap memerlukan perombakan instalasi listrik, peningkatan kapasitas daya dari gardu utama, dan modifikasi struktur bangunan. Ini adalah investasi modal (Capital Expenditure atau CapEx) yang sangat besar dan kompleks secara rekayasa, yang tidak bisa diselesaikan hanya dalam beberapa bulan.
Kegagalan untuk memenuhi kriteria infrastruktur KRIS, seperti kepadatan ruang dan ketersediaan prasarana medis di samping tempat tidur, menunjukkan adanya kegagalan mendasar dalam mematuhi standar teknis bangunan. Secara hierarki, kepatuhan KRIS berada di atas kepatuhan PMK 40/2022. Dengan kata lain, rumah sakit yang gagal memenuhi standar fondasi (PMK 40/2022) secara otomatis akan gagal pada tuntutan kualitas (KRIS). KRIS, dengan demikian, berfungsi sebagai indikator utama dari tingkat keparahan kesenjangan infrastruktur yang ada.
Jika KRIS adalah tujuan mutu pelayanan, maka fondasinya adalah Permenkes Nomor 40 Tahun 2022 tentang Persyaratan Teknis Bangunan, Prasarana, dan Peralatan Kesehatan Rumah Sakit. Regulasi ini menjadi acuan utama bagi rumah sakit baru maupun lama dalam merencanakan, membangun, atau merenovasi fasilitas mereka. Kepatuhan terhadap PMK 40/2022 adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi rumah sakit untuk memperoleh atau memperpanjang perizinan berusahanya.
Permenkes ini tidak memberikan kelonggaran waktu yang tak terbatas. Rumah sakit yang telah beroperasi diberikan jangka waktu 3 tahun sejak regulasi diundangkan pada tahun 2022 untuk menyesuaikan diri dengan persyaratan teknis yang baru. Penting untuk digarisbawahi, jangka waktu penyesuaian ini berakhir tepat pada tahun 2025,tahun yang sama dengan batas waktu implementasi KRIS. Adanya dua batas waktu penting yang menuntut perubahan fisik besar-besaran secara simultan ini menciptakan bottleneck investasi dan konstruksi yang menantang.
PMK 40/2022 memperkenalkan persyaratan teknis yang sangat spesifik dan mengikat pada desain dan operasional rumah sakit. Salah satu yang paling fundamental adalah ketentuan mengenai luas minimal ruangan. Regulasi ini menetapkan perhitungan perkiraan kebutuhan total luas lantai bangunan minimal 50 meter persegi per tempat tidur yang dimiliki oleh rumah sakit. Luasan ini dapat bertambah sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan pelayanan, namun angka 50 meter persegi per tempat tidur adalah standar baku yang harus dipenuhi.
Kewajiban 50 meter persegi per tempat tidur ini memiliki dampak operasional dan finansial yang signifikan, terutama bagi rumah sakit lama yang padat. Untuk mencapai rasio ini, banyak rumah sakit mungkin terpaksa mengurangi jumlah total tempat tidur mereka atau melakukan perluasan bangunan yang mahal. Jika RS tidak memenuhinya, mereka secara langsung melanggar Kriteria 8 KRIS (Kepadatan Ruang Rawat), sehingga mengancam perizinan dan kerjasama JKN. Dengan demikian, PMK 40/2022 secara efektif bertindak sebagai penjaga gerbang utama (gatekeeper) bagi kepatuhan mutu rumah sakit.
Permenkes 40/2022 juga mengatur detail arsitektural hingga struktural guna menjamin keselamatan dan kualitas lingkungan internal. Contoh persyaratan teknis yang diatur meliputi:
Struktur dan Komponen Aman: Desain komponen bangunan rumah sakit harus aman, dirancang untuk meminimalkan kemungkinan pasien mencelakakan diri sendiri atau orang lain.
Atap dan Drainase: Atap harus kuat, tidak bocor, tahan lama, dan dirancang tahan terhadap kecepatan angin tinggi (175–250 kph). Sistem drainase atap juga harus mempunyai kapasitas yang cukup.
Langit-Langit: Langit-langit harus kuat, berwarna terang, mudah dibersihkan, dan tidak mengandung unsur yang dapat membahayakan pasien.
Prasarana Vital: Regulasi juga mengatur secara ketat prasarana penunjang vital, seperti instalasi transportasi vertikal (lift pasien, pengunjung, dan servis), yang jumlah, kapasitas, dan konstruksinya harus berdasarkan fungsi dan luas bangunan. Selain itu, instalasi pengelolaan limbah serta sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran juga diatur secara rinci.
Persyaratan-persyaratan teknis yang diatur dalam PMK 40/2022 ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan rumah sakit tidak hanya diukur dari kompetensi dokter, tetapi juga dari keandalan dan keamanan infrastruktur fisiknya. Gagal memenuhi standar minimum teknis ini dapat berujung pada kegagalan akreditasi, pencabutan perizinan, dan, yang terpenting, peningkatan risiko keselamatan pasien.
Peran Permenkes terbaru di tahun 2024 (misalnya PMK 9/2024 dan 17/2024) sangat penting dalam mengintegrasikan regulasi teknis ke dalam sistem perizinan digital OSS-RBA. Perpindahan ke sistem berbasis risiko ini menuntut rumah sakit untuk mematuhi Permenkes yang mengatur SDM, seperti Permenkes 26 Tahun 2022.
Kepatuhan SDM kini diukur dari kemampuan rumah sakit melaporkan secara akurat status kepegawaian,apakah nakes berstatus tetap, tidak tetap, atau mitra. Yang lebih kompleks, sistem menuntut detail Nomor Surat Izin Praktik (SIP) beserta masa berlakunya, serta lokasi tempat praktik ke-1, ke-2, dan ke-3.
Penekanan pada digitalisasi dan sinkronisasi SIP dalam proses perizinan OSS menandai upaya serius Kementerian Kesehatan untuk mengatasi masalah lack of governance dan potensi praktik malpractice terkait tumpang tindih waktu praktik (double/triple job). Bagi manajemen RS, ini berarti beban administratif beralih dari birokrasi manual yang lambat menjadi beban kepatuhan data yang ketat dan cepat. Setiap RS yang mempekerjakan nakes tanpa status yang jelas atau dengan SIP yang bermasalah akan langsung menghadapi hambatan dalam memperoleh atau mempertahankan Izin Berusaha Efektif, karena OSS-RBA menggunakan data ini sebagai indikator risiko kepatuhan.
Selain persyaratan fisik bangunan (PMK 40/2022), keberlanjutan mutu juga didukung oleh regulasi pemeliharaan. PMK Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pemeliharaan Alat Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan memastikan bahwa investasi besar dalam infrastruktur dan alat kesehatan yang dipersyaratkan oleh PMK 40/2022 tidak sia-sia.
Dengan adanya Permenkes 15/2023, rumah sakit diwajibkan menyusun dan menjalankan program pemeliharaan preventif dan korektif yang terstruktur untuk alat kesehatan mereka. Hal ini penting karena alat kesehatan yang canggih memerlukan pemeliharaan rutin untuk menjaga akurasi dan keamanannya. Regulasi ini mencerminkan pandangan bahwa kualitas pelayanan tidak hanya terletak pada ketersediaan, tetapi juga pada keandalan operasional fasilitas dan peralatan yang digunakan.
Target implementasi KRIS pada 2025 membawa implikasi finansial yang besar bagi rumah sakit, terutama yang harus melakukan perombakan CapEx (Capital Expenditure) signifikan untuk memenuhi PMK 40/2022 dan 12 kriteria KRIS. Di tengah tuntutan investasi yang masif ini, muncul isu hukum yang krusial: kekosongan norma sanksi eksplisit.
Analisis menunjukkan bahwa Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2021 hanya mengatur tentang kewajiban rumah sakit dalam hal penyediaan Tempat Tidur (TT) kelas standar dan belum ada aturan yang secara eksplisit merinci sanksi bagi rumah sakit yang tidak dapat memenuhi ketentuan KRIS. Meskipun demikian, sanksi yang paling mungkin dan memiliki dampak paling merusak bagi rumah sakit yang sangat bergantung pada JKN adalah pemutusan kontrak kerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Ketergantungan finansial sebagian besar rumah sakit (terutama swasta) terhadap klaim JKN sangat tinggi. Dengan demikian, ancaman pemutusan kontrak BPJS di tahun 2025 menjadi insentif terkuat bagi RS untuk bergerak cepat. Kekuatan finansial inilah yang memaksa RS melakukan perhitungan risiko. Rumah sakit yang mayoritas pendapatannya berasal dari pasien JKN akan dipaksa mencari pembiayaan investasi besar-besaran, sedangkan rumah sakit yang memiliki captive market pasien non-JKN mungkin akan menghadapi dilema: berinvestasi besar untuk segmen JKN, atau memilih untuk keluar dari ekosistem JKN dan fokus pada layanan premium. Pilihan ini berpotensi menciptakan stratifikasi layanan kesehatan yang lebih tajam, yang mana hal ini bisa jadi kontraproduktif terhadap semangat pemerataan yang diusung oleh UU SJSN.
Perubahan regulasi yang fundamental turut memperkuat landasan tanggung jawab hukum korporasi rumah sakit. UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 secara jelas mengatur hak-hak pasien, termasuk hak atas kerahasiaan data dan informasi kesehatan pribadi.25 Meskipun kerahasiaan ini memiliki pengecualian (misalnya untuk penegakan hukum, penanggulangan KLB, atau kondisi gawat darurat dan gangguan jiwa berat), rumah sakit wajib menjamin perlindungan data tersebut.
Dalam konteks tanggung jawab malpraktik atau kerugian pasien, UU Kesehatan dan Permenkes terkait memastikan bahwa rumah sakit harus bertanggung jawab. Prinsip vicarious liability (tanggung jawab atas tindakan bawahannya) memastikan bahwa meskipun kasus seperti peristiwa bayi tertukar dapat diselesaikan melalui restorative justice dengan kompensasi kepada pasien yang dirugikan, pihak rumah sakit tetap memikul tanggung jawab korporasi. Kepatuhan yang ketat terhadap standar Permenkes terbaru, terutama PMK 40/2022 dan standar SDM, menjadi garis pertahanan pertama bagi rumah sakit untuk memitigasi risiko hukum dan tuntutan ganti rugi.
Meskipun reformasi regulasi yang diwujudkan melalui Permenkes terbaru sangat fokus pada peningkatan mutu dan infrastruktur, terdapat sudut pandang kritis mengenai prioritas kebijakan. Transformasi yang berpusat pada KRIS, PMK 40/2022, dan klasifikasi baru cenderung mengarahkan sumber daya dan fokus perhatian kepada rumah sakit (hospital centric).
Sementara itu, kritikus menunjukkan bahwa reformasi kesehatan seharusnya lebih mengarah kepada transformasi layanan kesehatan primer agar lebih komprehensif, mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan dan masyarakat, seperti yang diperdebatkan dalam konteks RUU Kesehatan. Fokus investasi modal yang luar biasa besar untuk KRIS dan pemenuhan PMK 40/2022 berpotensi mengalihkan alokasi anggaran dan perhatian manajemen dari penguatan Puskesmas dan fasyankes primer. Keseimbangan ini penting. Peningkatan mutu layanan rujukan (rumah sakit) harus diimbangi dengan kualitas layanan primer yang kuat agar sistem rujukan dapat bekerja secara optimal, sesuai dengan peta rujukan berbasis kompetensi yang diharapkan pasca-Permenkes 3/2020.28
Kegagalan untuk menyeimbangkan investasi antara layanan primer dan sekunder dapat memperburuk ketidakmerataan pelayanan. Jika semua tenaga spesialis dan dana CapEx terserap ke rumah sakit untuk memenuhi standar KRIS/PMK 40/2022, rumah sakit di daerah dengan klasifikasi Madya atau Dasar akan semakin kesulitan merekrut SDM berkualitas dan memenuhi standar kompetensi yang diwajibkan oleh klasifikasi baru.
Transformasi regulasi yang diinisiasi oleh Permenkes terbaru tentang rumah sakit adalah langkah maju yang ambisius menuju pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, terstandardisasi, dan aman. Namun, implementasi regulasi ini menuntut kesiapan yang luar biasa dari manajemen rumah sakit, terutama di tahun krusial 2025.
Analisis mendalam terhadap Permenkes terbaru menunjukkan tiga mandat utama yang tidak bisa ditawar oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:
Mandat Klasifikasi dan Perizinan: Rumah sakit harus mengadopsi model klasifikasi berbasis kompetensi (Paripurna, Utama, Madya, Dasar) dan memastikan seluruh data perizinan, termasuk SDM (sesuai PMK 26/2022) dan operasional, tersinkronisasi dan patuh dalam sistem OSS-RBA (sesuai PMK 9/2024 dan 17/2024).
Mandat Infrastruktur Fisik (PMK 40/2022): Batas waktu penyesuaian 3 tahun akan jatuh pada tahun 2025. Rumah sakit wajib memenuhi persyaratan teknis yang ketat, termasuk rasio minimal luas lantai 50 meter persegi per tempat tidur dan standar keselamatan bangunan, sebagai fondasi bagi semua standar mutu lainnya.
Mandat Mutu JKN (KRIS): Kepatuhan terhadap 12 Kriteria Kelas Rawat Inap Standar adalah syarat mutlak keberlangsungan kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Fokus investasi harus ditujukan pada kriteria tersulit yang berkaitan dengan infrastruktur, seperti sistem ventilasi, kelengkapan listrik per tempat tidur, dan kamar mandi dalam.
Di tengah arus deras perubahan regulasi,dari PMK 9/2024, PMK 14/2024, PMK 17/2024, hingga batas waktu kritis KRIS 2025,rumah sakit tidak bisa lagi bersikap reaktif. Setiap penundaan dalam perencanaan investasi CapEx dan penyesuaian operasional meningkatkan risiko finansial, yang paling fatal adalah ancaman pemutusan kontrak JKN. Diperlukan audit kepatuhan regulasi (Regulatory Compliance Audit) internal yang komprehensif untuk memetakan kesenjangan antara kondisi eksisting dan tuntutan Permenkes terbaru, khususnya PMK 40/2022 dan 12 kriteria KRIS.
Apabila membutuhkan bantuan ahli untuk melakukan pemetaan risiko hukum, menyusun strategi penyesuaian infrastruktur (CapEx planning) yang efisien, atau melakukan audit kepatuhan menyeluruh terhadap Permenkes terbaru di rumah sakit Anda, tim analis dan konsultan hukum kami siap mendampingi Anda mencapai kepatuhan standar global sebelum batas waktu krusial 2025 berakhir.
Anda mungkin juga tertarik