Permenkes Tentang Klinik Terbaru: PMK 17/2024 Kepatuhan dan Bisnis Klinik di Era OSS-RBA

Ditinjau oleh Harianus Zebua • 22 Oct 2025

Bagikan

Permenkes Tentang Klinik Terbaru: PMK 17/2024

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terbaru Nomor 17 Tahun 2024 membawa angin segar sekaligus tantangan baru bagi pelaku usaha di bidang pelayanan kesehatan, khususnya klinik. Regulasi ini hadir sebagai pembaruan dari ketentuan sebelumnya untuk menyesuaikan sistem perizinan dengan mekanisme Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA) yang kini menjadi standar nasional dalam tata kelola perizinan berusaha. Bagi pengelola klinik, pemahaman terhadap aturan ini menjadi penting bukan hanya untuk memastikan kepatuhan hukum, tetapi juga untuk menjaga kelangsungan bisnis di tengah transformasi digital sektor kesehatan yang kian cepat.

A. Meluruskan Fokus: Mengapa PMK 17/2024 Adalah Regulasi Klinik Terbaru yang Wajib Anda Kuasai

Perubahan regulasi di sektor kesehatan Indonesia, khususnya yang menyasar fasilitas pelayanan kesehatan primer seperti klinik, bukanlah sekadar penyesuaian administratif. Perubahan ini merupakan refleksi mendalam dari tuntutan pemerintah terhadap peningkatan mutu, efisiensi, dan tata kelola layanan kesehatan. Bagi para pemilik, operator, dan investor di sektor klinik, memahami setiap detail hukum terbaru adalah kewajiban mutlak untuk menjamin keberlangsungan usaha.

Fokus utama pembahasan saat ini terletak pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2024. Regulasi ini menjadi payung hukum terkini yang mengatur secara komprehensif Standar Kegiatan Usaha Klinik dan merupakan landasan operasional dalam sistem perizinan berusaha berbasis risiko (OSS-RBA). PMK 17/2024 secara spesifik berkedudukan sebagai Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan.   

Meskipun dalam rentang waktu beberapa tahun terakhir telah muncul beberapa regulasi penting lainnyaseperti PMK 14 Tahun 2021 yang memperkenalkan sistem perizinan berbasis risiko  dan PMK 34 Tahun 2021 yang mengatur Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik PMK 17/2024 kini menjadi titik fokus utama. Dokumen ini menyempurnakan dan mempertegas ketentuan-ketentuan sebelumnya, sekaligus mengintegrasikan semangat dari Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Kesehatan terbaru. Kegagalan memahami esensi pembaruan dalam PMK 17/2024 dapat berujung pada sanksi perizinan, bahkan penghentian operasional.   

B. Opini Konsultan: Transisi dari Kepatuhan Administratif ke Kualitas Holistik

Sebagai seorang analis regulasi yang telah mengamati pergerakan kebijakan kesehatan selama bertahun-tahun, analisis ini menunjukkan sebuah pergeseran filosofis yang sangat penting dari Kementerian Kesehatan. Pemerintah tidak lagi hanya fokus pada izin pendirian sebagai formalitas awal; fokus telah bergeser secara tegas pada standar operasional dan mutu yang harus dipelihara secara berkelanjutan (holistik). Ini berarti bahwa klinik harus melihat kepatuhan regulasi bukan sebagai biaya yang harus ditanggung, tetapi sebagai investasi strategis yang diperlukan untuk memastikan kualitas dan keselamatan pasien.

Studi statistik menunjukkan betapa krusialnya sektor klinik dalam rantai pelayanan kesehatan nasional. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2023, Indonesia memiliki jumlah fasilitas yang signifikan: tercatat ada 14.564 Klinik Pratama dan 2.697 Klinik Utama di seluruh Indonesia. Skala masif ini menggarisbawahi mengapa setiap perubahan kecil dalam peraturan, seperti yang dimuat dalam Permenkes tentang klinik terbaru, memiliki dampak yang sangat besar, baik terhadap ketersediaan layanan maupun kualitas layanan kesehatan primer yang diakses oleh masyarakat luas.   

Perubahan regulasi ini, terutama penekanan pada peningkatan standar tata kelola dan SDM, berfungsi sebagai mekanisme kontrol mutu yang ditingkatkan. Jumlah klinik yang begitu besar ini memerlukan pengawasan yang intensif. Oleh karena itu, PMK 17/2024, melalui persyaratan SDM yang lebih terperinci dan struktur organisasi yang lebih jelas , adalah upaya yang dirancang untuk mengatasi defisit tata kelola yang mungkin terjadi di tingkat layanan primer, terutama mengingat peran sentral klinik dalam sistem rujukan. Hal ini memberikan sinyal kuat bahwa pengawasan pasca-izin, terutama melalui proses Akreditasi, akan menjadi jauh lebih ketat dan terperinci di masa depan. Kepatuhan hari ini menentukan kelangsungan operasional di tahun-tahun mendatang.   

II. PONDASI HUKUM: MEMAHAMI PERUBAHAN BERBASIS RISIKO

A. Sejarah Singkat Regulasi Klinik (Dari PMK 14/2021 hingga PMK 17/2024)

Untuk memahami kedudukan PMK 17/2024, penting untuk melihat evolusi regulasi perizinan klinik. Titik awalnya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2021. Regulasi ini, yang menggantikan PMK 9/2014, adalah instrumen kunci pertama dalam implementasi penuh perizinan berusaha berbasis risiko (OSS-RBA) di sektor kesehatan. Melalui PMK 14/2021, fokus perizinan bergeser dari Izin Operasional Klinik menjadi penerbitan Sertifikat Standar Usaha Klinik.   

Terdapat perubahan pertama atas PMK 14/2021, yaitu melalui PMK Nomor 8 Tahun 2022. Namun, perubahan paling signifikan dan komprehensif yang memengaruhi praktik operasional klinik datang melalui PMK 17 Tahun 2024. Perubahan kedua ini membawa penyempurnaan yang esensial, terutama yang berkaitan dengan standar ketenagaan, struktur organisasi, dan penambahan kategori izin khusus bagi layanan tertentu. PMK 17/2024 secara efektif menjadi konsolidasi standar terbaru yang harus dipenuhi oleh fasilitas kesehatan jenis klinik.   

B. Arsitektur OSS-RBA dan KBLI: Klinik Swasta (86105) dan Risiko Menengah Tinggi

Seluruh permohonan perizinan klinik, baik pendirian baru, perpanjangan, atau perubahan, wajib dilakukan melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik, yang dikenal sebagai Online Single Submission (OSS). Sistem ini dirancang untuk menyederhanakan mekanisme perizinan dan memastikan standarisasi nasional.   

Untuk Klinik Swasta, yang mendominasi jumlah fasilitas kesehatan primer , kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang digunakan adalah KBLI 86105, yang mengacu pada Aktivitas Klinik Swasta. Berdasarkan PMK 17/2024, kegiatan usaha dengan KBLI 86105 ditetapkan memiliki tingkat risiko Menengah Tinggi.   

Penetapan tingkat risiko Menengah Tinggi memiliki implikasi hukum dan operasional yang substansial. Pelaku usaha klinik tidak hanya memerlukan NIB (Nomor Induk Berusaha), tetapi juga harus memenuhi standar usaha yang telah ditetapkan dan lolos verifikasi untuk dapat memperoleh Sertifikat Standar Usaha Klinik (yang merupakan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, atau PB-UMKU). Jangka waktu pengurusan perizinan ini secara ideal ditetapkan selama 20 hari, dengan masa berlaku perizinan selama 5 tahun.   

Namun, penting untuk dicatat adanya dualisme proses perizinan untuk klinik yang diselenggarakan oleh pemerintah. Klinik Pemerintah yang berstatus Non-BLU (Badan Layanan Umum) atau Non-BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) tidak mengajukan permohonan perizinan melalui sistem OSS-RBA. Sebaliknya, permohonan mereka dilakukan di luar sistem OSS, ditujukan langsung kepada Bupati atau Walikota setempat atau instansi pemberi perizinan yang ditunjuk.   

C. Struktur Utama PMK 17/2024: Area Perubahan Kunci yang Paling Menonjol

PMK 17/2024 hadir sebagai dokumen yang jauh lebih dari sekadar revisi kecil. Ini adalah penyempurnaan yang berani dan menyentuh empat pilar fundamental yang membentuk operasional klinik: Ketenagaan (SDM), Tata Kelola Organisasi, Persyaratan Fisik dan Peralatan, dan Kewajiban Digital.

Salah satu implikasi yang timbul dari persyaratan ini berkaitan erat dengan tata kelola klinik pemerintah. PMK 17/2024 mengatur secara eksplisit bahwa Klinik Pemerintah harus didirikan dalam bentuk badan hukum publik, baik PK-BLU/PK-BLUD maupun unit pelaksana non-BLU/non-BLUD. Berdasarkan temuan di lapangan (misalnya studi kasus di Jawa Tengah), salah satu kendala terbesar yang dihadapi oleh klinik pemerintah adalah kesulitan atau ketidakmampuan untuk memenuhi persyaratan menjadi BLUD/BLU secara tata kelola keuangan dan hukum.   

Regulasi terbaru ini secara tidak langsung berfungsi sebagai katalisator, memaksa Klinik Pemerintah untuk segera bertransformasi agar dapat memiliki izin yang sah. Jika klinik pemerintah tidak mampu melakukan transformasi menjadi BLUD/BLU sesuai standar yang ditetapkan, eksistensi dan legalitas mereka dapat terancam. Ini merupakan sebuah tekanan regulasi yang bertujuan untuk memastikan bahwa fasilitas kesehatan milik publik pun harus beroperasi dengan standar tata kelola dan akuntabilitas yang tinggi, setara dengan entitas layanan umum.

III. BEDAH DETIL STANDAR USAHA KLINIK (PMK 17/2024)

A. Definisi dan Klasifikasi Baru

PMK 17/2024 memperbarui dan memperjelas definisi operasional. Klinik didefinisikan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar, spesialistik, dan/atau subspesialistik secara komprehensif.   

Penggolongan usaha klinik dipertahankan tetapi dengan penegasan standar:

  1. Kemampuan Pelayanan: Dibagi menjadi Klinik Pratama (menyelenggarakan pelayanan medik dasar) dan Klinik Utama (menyelenggarakan pelayanan spesialistik dan/atau subspesialistik).

  2. Penyelenggaraan: Dibagi menjadi Klinik Rawat Jalan dan Klinik Rawat Inap. Klinik Rawat Inap Pratama kini diatur secara ketat, dengan batasan minimal 5 tempat tidur (TT) dan maksimal 20 TT.   

  3. Status Modal: Dibagi menjadi Klinik PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan Klinik PMA (Penanaman Modal Asing).

Perizinan Klinik PMA kini disoroti secara khusus. Klinik PMA memiliki persyaratan yang lebih ketat, di mana mereka harus berbentuk PT atau badan usaha lain yang diizinkan dan beroperasi hanya sebagai kegiatan pendukung dari kegiatan utama PMA, serta hanya memberikan pelayanan kepada pekerja dan/atau keluarganya di lingkungan perusahaan (meskipun ada mekanisme penyesuaian dengan persetujuan Dinkes). Lebih penting lagi, kewenangan perizinan Klinik PMA disentralisasi langsung di Kementerian Kesehatan, bukan lagi di tangan Bupati/Walikota. Ini memastikan kontrol mutu dan investasi asing berada di bawah pengawasan pusat.   

B. Kepemilikan dan Badan Hukum

Regulasi mengatur secara rinci bentuk badan hukum yang diperbolehkan, tergantung jenis layanan yang diberikan. Untuk Klinik Swasta yang menyelenggarakan Rawat Inap, pendiriannya wajib dilakukan oleh badan hukum, seperti Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, atau Koperasi. Kewajiban badan hukum ini bertujuan untuk memastikan akuntabilitas dan kapasitas finansial yang memadai untuk menanggung risiko operasional rawat inap.   

Sementara itu, Klinik Swasta yang hanya menyelenggarakan Rawat Jalan diberikan sedikit kelonggaran, di mana mereka dapat didirikan oleh orang perseorangan atau badan usaha. Struktur kepemilikan ini harus dipastikan selaras dengan dokumen akta pendirian dan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang diajukan melalui OSS.   

C. Persyaratan Administrasi Wajib: Menghindari Penolakan Perizinan di Sistem OSS

Proses perizinan berbasis risiko (OSS-RBA) sangat bergantung pada kelengkapan dan keakuratan dokumen teknis. Kegagalan memenuhi persyaratan di tahap verifikasi dapat menyebabkan penundaan atau penolakan perizinan. PMK 17/2024 menekankan pembaruan dokumen kunci, khususnya format Self Assessment yang harus sesuai dengan lampiran regulasi terbaru, menggantikan format yang digunakan pada PMK 14/2021.   

Berikut adalah daftar periksa yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha klinik dalam memenuhi persyaratan perizinan berdasarkan PMK 17/2024.

Table 2: Checklist Persyaratan Pendirian/Perubahan Izin Klinik melalui OSS-RBA (PMK 17/2024)

No.

Dokumen/Persyaratan

Keterangan Kepatuhan Wajib Berdasarkan PMK 17/2024

1

Profil Klinik

Mencakup visi, misi, struktur organisasi (baru), dan waktu penyelenggaraan.

2

Self Assessment

Format harus sesuai lampiran terbaru PMK 17 Tahun 2024.

3

Daftar Obat dan BMHP

Daftar terperinci obat-obatan dan bahan medis habis pakai.

4

Daftar Nama SDM Klinik

Daftar lengkap tenaga kesehatan yang bekerja.

5

Surat Izin Praktik (SIP) Nakes

SIP semua tenaga kesehatan di Klinik (atau STR + komitmen mengurus SIP untuk klinik baru/nakes baru).

6

PKS Limbah B3

Perjanjian Kerja Sama pembuangan limbah berbahaya dan beracun medis/nonmedis yang valid.

7

Sertifikat Keahlian Khusus

Wajib bagi Dokter/Dokter Gigi yang menyediakan layanan spesifik (misalnya, estetika)

8

Dokumen Perubahan (Opsional)

Surat pernyataan penggantian badan hukum, nama klinik, atau kepemilikan modal (jika ada perubahan izin).

  

Dokumentasi administrasi ini sering kali menjadi titik terlemah yang menyebabkan penolakan perizinan dalam sistem OSS. Pelaku usaha harus memperhatikan detail, seperti memastikan Perjanjian Kerja Sama (PKS) pembuangan Limbah B3 masih aktif dan sesuai dengan standar yang berlaku. 

Perubahan format pada Self Assessment yang menjadi bagian dari persyaratan  juga mengindikasikan bahwa regulator ingin memastikan klinik melakukan penilaian mandiri yang lebih akurat dan terperinci terhadap kesiapan operasional mereka sebelum mendapatkan Sertifikat Standar Usaha. Kelengkapan dokumen ini menjadi verifikasi administrasi pertama sebelum verifikasi lapangan.   

IV. TRANSISI SDM DAN TATA KELOLA ORGANISASI

A. Revolusi Struktur Organisasi Minimal

Salah satu perubahan paling fundamental dan berdampak pada struktur biaya operasional klinik adalah perombakan tata kelola organisasi minimal. PMK 17/2024 secara tegas mengubah struktur lama yang cenderung hanya mengandalkan satu Penanggung Jawab Klinik (PJK) yang merangkap berbagai fungsi. Regulasi terbaru ini mewajibkan adanya struktur minimal yang lebih terdiferensiasi :   

  1. Kepala Klinik (Bertanggung jawab atas manajemen umum).

  2. Penanggung Jawab Pelayanan (PJP) (Bertanggung jawab atas aspek klinis).

  3. Penanggung Jawab Kegawatdaruratan (PJKD) (Bertanggung jawab atas kesiapsiagaan darurat).

  4. Penanggung Jawab Kefarmasian (PJKF) (Bertanggung jawab atas layanan farmasi dan logistik obat).

Perubahan ini bukan sekadar pergantian jabatan. Tuntutan struktur baru ini merefleksikan prinsip Good Clinical Governance, memisahkan secara jelas fungsi kepemimpinan, fungsi klinis, fungsi keselamatan, dan fungsi logistik. Pemisahan fungsi ini bertujuan meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi, tetapi secara langsung meningkatkan kebutuhan minimal Sumber Daya Manusia (SDM) fungsional di klinik.

B. Peran Kunci Penanggung Jawab Pelayanan dan Kompetensi

Regulasi juga memperketat persyaratan kompetensi untuk peran kunci, khususnya Penanggung Jawab Pelayanan (PJP):

  • PJP Klinik Pratama: Harus seorang dokter, dokter dengan kompetensi di bidang kedokteran keluarga dan layanan primer (Spesialis Kedokteran Keluarga Layanan Primer/Sp.K.F.L.P.), atau dokter gigi.   

  • PJP Klinik Utama: Harus seorang dokter, dokter gigi, dokter spesialis atau subspesialis, atau dokter gigi spesialis atau subspesialis.   

Kebutuhan spesifik akan kompetensi Kedokteran Keluarga/Layanan Primer (Sp.K.F.L.P.) untuk PJP Klinik Pratama merupakan penanda agenda strategis Kementerian Kesehatan dalam memperkuat mutu Pelayanan Kesehatan Primer (PKP). Ini berarti bahwa dokter umum yang ditunjuk sebagai PJP didorong (secara implisit) untuk memiliki kompetensi PKP yang lebih matang, sejalan dengan transformasi kesehatan nasional yang fokus pada peningkatan kualitas layanan dasar. Persyaratan ini tentu akan meningkatkan standar rekrutmen dan pelatihan SDM di tingkat klinik Pratama.

Sementara itu, Penanggung Jawab Kegawatdaruratan kini juga diwajibkan merupakan seorang dokter di Klinik Pratama/Utama, atau dokter gigi/spesialis di Klinik Gigi dan Mulut.   

C. Kewajiban SIP: Strategi Mengelola Perizinan Praktik Tenaga Kesehatan

Kepatuhan SDM terkait Surat Izin Praktik (SIP) adalah persyaratan teknis yang paling sering menimbulkan masalah. PMK 17/2024 menegaskan bahwa setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang bekerja di klinik wajib memiliki SIP yang berlaku di fasilitas tersebut.   

Untuk mengurangi hambatan awal pada proses perizinan, PMK 17/2024 memberikan fleksibilitas tertentu, terutama untuk pendirian klinik baru atau perekrutan tenaga kesehatan baru. Dalam proses pengajuan Sertifikat Standar, klinik diperbolehkan melampirkan STR yang berlaku, surat penugasan/kontrak kerja, dan surat pernyataan komitmen dari klinik untuk mengurus SIP yang bersangkutan.   

Namun, fleksibilitas ini bersifat temporer. SIP harus segera diurus setelah Sertifikat Standar diterbitkan. Ini menunjukkan bahwa kewajiban SIP adalah syarat berkelanjutan. Analisis ini menyimpulkan bahwa regulasi secara cerdas mengaitkan perizinan klinik dengan ketersediaan SDM yang legal. Klinik harus mengelola risiko rantai pasok SDM secara proaktif, karena kegagalan tenaga kesehatan memiliki SIP yang valid dapat berujung pada sanksi serius, termasuk pencabutan Sertifikat Standar Usaha Klinik, mengingat SIP adalah persyaratan teknis operasional yang mutlak.

Table 1: Ringkasan Perubahan Standar Ketenagaan Kunci (PMK 14/2021 vs. PMK 17/2024)

Aspek Regulasi

PMK 14 Tahun 2021 (Regulasi Lama)

PMK 17 Tahun 2024 (Regulasi Terbaru)

Implikasi Operasional Krusial

Struktur Organisasi Minimum

Penanggung Jawab Klinik (merangkap Pimpinan)

Kepala Klinik, PJ Pelayanan, PJ Gawat Darurat, dan PJ Kefarmasian

Peningkatan kompleksitas tata kelola dan kebutuhan 4 SDM fungsional utama.

Kompetensi PJ Pelayanan Pratama

Tenaga Medis (Dokter/Dokter Gigi)

Dokter/Dokter dengan Kompetensi Kedokteran Keluarga/Layanan Primer, atau Dokter Gigi

Peningkatan fokus Kemenkes pada mutu layanan primer dan kompetensi spesifik.

Status Perizinan SDM

PJK harus memiliki SIP di Klinik

Tenaga Medis/Kesehatan harus memiliki SIP. Komitmen pengurusan SIP dapat diterima di awal perizinan baru.

Fleksibilitas awal, tetapi penegasan kewajiban SIP sebagai syarat berkelanjutan.

Kewenangan Perizinan PMA

Diatur secara umum di OSS

Khusus Klinik PMA diatur oleh Kemenkes (pusat)

Sentralisasi kontrol atas investasi asing di sektor klinik.

  

V. STANDAR FISIK, PRASARANA, DAN ETIKA LINGKUNGAN

A. Standar Bangunan dan Aksesibilitas

Standar bangunan dan prasarana klinik juga mengalami penegasan detail. Regulasi mensyaratkan bahwa lokasi klinik harus mudah diakses, setidaknya oleh satu kendaraan roda empat. Ini adalah persyaratan logistik yang krusial untuk memastikan aksesibilitas pasien, terutama dalam situasi darurat.   

Secara struktural, bangunan klinik harus kuat, kokoh, stabil, dan layak untuk kebutuhan pelayanan. Secara fungsional, klinik harus aman, nyaman, dan mudah dalam memberikan pelayanan. PMK 17/2024 membawa penambahan penting mengenai etika lingkungan dan aksesibilitas.

Klinik secara eksplisit diwajibkan menyediakan fasilitas dan aksesibilitas yang menjamin kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, anak, dan lansia. Selain itu, area klinik harus ditetapkan sebagai area bebas rokok , yang merupakan penegasan standar etika lingkungan internal fasilitas kesehatan.   

Bagi klinik yang berlokasi di properti komersial seperti ruko atau apartemen, regulasi ini memberikan batasan operasional yang jelas: pintu masuk klinik harus terpisah, dan ruangan klinik tidak boleh digabungkan dengan ruangan lain yang bukan merupakan bagian dari klinik, guna menjaga sterilitas dan independensi layanan.   

B. Daftar Ruangan Esensial

Pemenuhan standar ruangan merupakan tantangan besar dan sering membutuhkan investasi modal signifikan, terutama bagi klinik yang ingin beralih dari rawat jalan ke rawat inap atau melakukan penyesuaian untuk akreditasi. PMK 17/2024 menetapkan persyaratan ruangan wajib secara kaku.

Dalam konteks penyesuaian standar fisik ini, saya sering beropini bahwa klinik bagaikan kapal yang berlayar, setiap ruangan adalah kompartemen vital yang harus fungsional, jika ada satu yang bocor, integritas keseluruhan layanan bisa terancam.

Klinik Pratama Rawat Jalan diwajibkan memiliki Ruang Administrasi, Ruang Tunggu, Ruang Pemeriksaan, Ruang Tindakan, Kamar Mandi/WC, dan Tempat Parkir. Jika terdapat layanan gigi, maka Ruang Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut juga wajib tersedia.

Untuk Klinik Pratama Rawat Inap, persyaratannya jauh lebih ketat dan wajib ditambahkan:

  1. Ruang Rawat Inap: Minimal 5 Tempat Tidur (TT) dan maksimal 20 TT.   

  2. Ruang Gawat Darurat.

  3. Ruang Staf Klinik, Instalasi Farmasi, Ruang Laboratorium, Ruang Dapur Gizi, Ruang Sterilisasi, dan Gudang Umum.   

C. Pengelolaan Limbah B3: Perjanjian Kerja Sama yang Valid dan Terbaru

Sesuai dengan persyaratan administrasi wajib yang dibahas sebelumnya, Perjanjian Kerja Sama (PKS) pembuangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) medis dan/atau B3 nonmedis adalah dokumen kunci yang harus valid dan berkelanjutan.   

PKS Limbah B3 sering kali dianggap hanya sebagai formalitas perizinan. Namun, dalam konteks pengawasan pasca-izin, Dinas Kesehatan dan instansi terkait akan melakukan audit lapangan untuk meninjau implementasi PKS tersebut, termasuk bukti pengangkutan dan pemusnahan limbah yang sesuai dengan standar lingkungan hidup. Regulasi ini mempertegas bahwa tanggung jawab klinik terhadap pengelolaan limbah, yang merupakan aspek keselamatan lingkungan, tidak dapat dinegosiasikan. Kepatuhan B3 menunjukkan keseriusan klinik dalam menjaga keselamatan publik dan lingkungan.

VI. TANTANGAN DIGITALISASI: INTEGRASI DENGAN PMK 24/2022 (RME)

A. Rekam Medis Elektronik (RME): Kewajiban Mutlak dan Kepatuhan

PMK 17/2024 tidak dapat berdiri sendiri; ia bekerja dalam sinergi dengan regulasi transformasi digital kesehatan. Salah satu Kewajiban Klinik yang ditegaskan dalam PMK 17/2024 adalah penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME). Kewajiban ini secara fundamental mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis.   

Kewajiban mengimplementasikan RME didukung oleh tenggat waktu kepatuhan yang telah ditetapkan. Meskipun deadline teknis untuk fasilitas kesehatan adalah 31 Desember 2023, data menunjukkan bahwa tantangan implementasi RME terus berlanjut hingga tahun 2025 di banyak fasilitas kesehatan, termasuk klinik. Ini berarti bahwa Sertifikat Standar Usaha Klinik yang diperoleh berdasarkan PMK 17/2024 akan segera dihadapkan pada pengawasan ketat terkait implementasi RME.   

B. Tantangan Implementasi RME: Isu Keterbatasan Sumber Daya dan Infrastruktur

Bagi operator klinik, implementasi RME menuntut perhatian yang sangat rinci. Klinik harus memastikan bahwa sistem RME yang mereka pilih mampu mengakomodasi semua variabel data yang disyaratkan oleh PMK 24/2022 secara terstruktur. Ini bukan sekadar memindahkan data dari kertas ke digital, melainkan restrukturisasi total alur kerja klinis.   

Tantangan di lapangan yang sering dihadapi, terutama oleh Klinik Pratama, mencakup ketersediaan infrastruktur teknologi yang memadai, kesenjangan pengetahuan SDM (literasi digital tenaga medis), dan beban biaya investasi awal yang cukup tinggi untuk sistem informasi yang handal. Klinik Pratama, dengan margin keuntungan dan modal yang lebih terbatas dibandingkan rumah sakit, sering kesulitan untuk melakukan investasi ini, padahal investasi RME adalah kewajiban yang mengikat.   

C. Opini: RME Bukan Hanya Kepatuhan, Tetapi Investasi Mutu Layanan

RME berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepatuhan administratif di bawah PMK 17/2024 (izin berusaha) dengan tuntutan akreditasi dan mutu layanan (operasional). Klinik yang gagal mengimplementasikan RME akan menghadapi risiko ganda: pertama, masalah perizinan karena melanggar salah satu kewajiban klinik yang tercantum dalam Sertifikat Standar Usaha; kedua, masalah mutu dan keselamatan pasien karena tidak memiliki data medis yang terstruktur dan terintegrasi.

Digitalisasi ini juga krusial untuk pelaporan kepada pemerintah. PMK 17/2024 mewajibkan klinik untuk melakukan input dan pembaharuan data secara berkala di sistem informasi Kementerian Kesehatan (seperti ASPAK, INM, dan DFO). RME yang terintegrasi memungkinkan pelaporan ini berjalan mulus. Integrasi kewajiban RME (PMK 24/2022) sebagai bagian dari kewajiban klinik dalam PMK 17/2024 menciptakan standar masuk yang lebih tinggi. Klinik yang telah mampu mengimplementasikan RME menunjukkan keseriusan dalam manajemen risiko, tata kelola data, dan kesiapan teknologi, yang merupakan prasyarat terselubung untuk kelangsungan izin dan peningkatan mutu layanan.   

VII. ANOMALI REGULASI DAN ISU KHUSUS

A. Klinik Kecantikan/Estetika: Kewajiban Sertifikat Keahlian Tambahan

Sektor klinik kecantikan atau estetika, yang semakin berkembang pesat, kini tunduk pada aturan spesifik dalam PMK 17/2024. Regulasi menegaskan bahwa jika Klinik menyelenggarakan pelayanan kecantikan atau estetika, Dokter atau Dokter Gigi yang bertanggung jawab atas pelayanan tersebut wajib melampirkan sertifikat keahlian sesuai bidangnya sebagai bagian dari persyaratan perizinan.   

Implikasi dari aturan ini sangat jelas: ini adalah upaya regulator untuk mengendalikan praktik estetika yang rentan terhadap malpraktik. Klinik tidak bisa lagi hanya mengandalkan SIP dokter umum saja untuk melakukan prosedur estetika yang kompleks. Mereka harus membuktikan kompetensi spesifik melalui sertifikasi yang diakui oleh organisasi profesi atau lembaga pelatihan yang sah. Kewajiban ini bertujuan melindungi konsumen dan memastikan kualitas layanan yang terspesialisasi.

B. Klinik Pemerintah (Non-BLU/BLUD): Tantangan Badan Hukum dan Perizinan di Luar OSS

Seperti yang telah diulas sebelumnya, klinik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Non-BLU/BLUD) menghadapi tantangan unik. Analisis lapangan menunjukkan bahwa hambatan utama yang dihadapi adalah persyaratan bahwa klinik tersebut harus memiliki badan hukum publik, yaitu berbentuk Layanan Umum Daerah (BLUD). Klinik yang belum mampu bertransformasi atau memenuhi kriteria administratif BLUD akan menghadapi kendala serius dalam memperoleh izin usaha yang sah sesuai PMK 17/2024.   

Selain masalah badan hukum, klinik pemerintah ini mengajukan perizinan secara manual di luar sistem OSS kepada Bupati/Walikota. Meskipun ini terlihat sebagai jalur yang berbeda dari klinik swasta, proses non-OSS seringkali lebih rentan terhadap birokrasi dan hambatan lokal, termasuk kebutuhan akan rekomendasi teknis dari Dinas Kesehatan setempat. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak bagi pemerintah daerah untuk menstandardisasi proses internal mereka.   

C. Pelayanan Khusus: Izin Tambahan untuk Dialisis dan Medis Hiperbarik

PMK 17/2024 memperkenalkan mekanisme sentralisasi perizinan untuk layanan medis tertentu yang dianggap memiliki risiko tinggi atau memerlukan teknologi spesialis.

Regulasi menetapkan bahwa Izin Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis dan Izin/Penetapan Pelayanan Medis Hiperbarik menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) secara langsung. Strategi regulasi ini adalah cerdas. Sambil mempermudah perizinan dasar klinik (melalui Bupati/Walikota untuk PMDN), regulator memperketat kontrol atas area berisiko tinggi (Dialisis) dan teknologi khusus (Hiperbarik) dengan menempatkannya di bawah pengawasan mutu tertinggi di tingkat pusat. Ini memastikan bahwa fasilitas yang menyediakan layanan terspesialisasi ini memenuhi standar nasional yang seragam dan ketat.   

VIII. STRATEGI KEPATUHAN DAN REKOMENDASI AHLI

A. Langkah-Langkah Audit Kepatuhan Internal Berdasarkan PMK 17/2024

Agar klinik dapat mempertahankan Sertifikat Standar Usaha mereka atau berhasil dalam proses perizinan baru, audit internal yang terukur harus segera dilakukan. Analisis ini menyarankan empat langkah audit utama:

  1. Audit Struktur SDM: Segera identifikasi dan resmikan penunjukan personil untuk empat peran minimal yang baru (Kepala, PJ Pelayanan, PJ Gawat Darurat, PJ Kefarmasian). Pastikan kompetensi PJ Pelayanan Klinik Pratama memenuhi kualifikasi dokter atau dokter dengan kompetensi Kedokteran Keluarga/Layanan Primer.   

  2. Audit Dokumentasi: Lakukan pembaruan menyeluruh terhadap Profil Klinik dan wajib menggunakan format Self Assessment terbaru sesuai lampiran PMK 17/2024 untuk menghindari penolakan otomatis di OSS.

  3. Audit Fisik dan Aksesibilitas: Cek ulang kesiapan fisik bangunan (akses kendaraan roda 4, penandaan area bebas rokok, dan yang terpenting, fasilitas yang menjamin aksesibilitas disabilitas dan lansia).   

  4. Audit Perjanjian Kontrak: Verifikasi masa berlaku dan cakupan Perjanjian Kerja Sama (PKS) Limbah B3. Pastikan PKS mencakup limbah medis dan nonmedis yang relevan.   

B. Tips Praktis Mempertahankan Readability Tinggi dalam Komunikasi Regulasi

Dalam dunia bisnis kesehatan, pemahaman regulasi adalah setengah dari pertempuran. Artikel regulasi yang teknis seringkali sulit dicerna, namun, untuk memastikan implementasi yang tepat di level operasional klinik, kebijakan harus dikomunikasikan dengan lugas dan jelas. Mencapai Readability Score ≥60 sangat ideal untuk audiens profesional yang sibuk.   

Teknik yang kami gunakan dan rekomendasikan untuk meningkatkan daya serap informasi teknis meliputi:

  1. Penggunaan Kalimat Pendek dan Langsung: Hindari kalimat majemuk yang rumit. Komunikasi harus berorientasi pada tindakan dan hasil.   

  2. Struktur Visual: Memecah paragraf panjang, serta memanfaatkan poin-poin bernomor dan tabel (seperti yang disajikan dalam laporan ini) adalah cara terbaik untuk menyajikan data kompleks secara visual dan terstruktur.   

  3. Fokus pada Solusi: Selalu fokus pada jawaban langsung atas pertanyaan operasional yang paling sering muncul dari audiens ("Apa yang harus saya lakukan sekarang?").   

C. Pengawasan dan Akreditasi: Jaminan Mutu dan Kelangsungan Bisnis

Meskipun Sertifikat Standar Usaha Klinik (PB-UMKU) memiliki masa berlaku 5 tahun , kelangsungan legalitas klinik sangat bergantung pada kepatuhan terhadap kewajiban berkelanjutan yang ditetapkan PMK 17/2024, yang puncaknya adalah Akreditasi.   

Klinik diwajibkan menjamin mutu dan keselamatan pasien serta melakukan akreditasi. Akreditasi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban hukum yang terintegrasi sebagai mekanisme pengawasan mutu. Kegagalan mencapai status akreditasi atau mempertahankan standar yang ditetapkan dapat menjadi dasar kuat bagi regulator untuk menjatuhkan sanksi atau, dalam kasus terburuk, mencabut izin berusaha. Oleh karena itu, persiapan akreditasi harus dimulai sejak klinik mendapatkan Sertifikat Standar Usaha. PMK 17/2024 dan kewajiban RME (PMK 24/2022) bersama-sama menciptakan tolok ukur kesiapan klinis yang harus dipenuhi sebelum proses Akreditasi dimulai.   

IX. PENUTUP: MENGAMBIL KONTROL DI TENGAH PERUBAHAN

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2024 merupakan mandat modernisasi yang tidak bisa diabaikan. Ini adalah salah satu regulasi paling berpengaruh di sektor kesehatan primer dalam beberapa tahun terakhir, yang menuntut perubahan mendasar, mulai dari perombakan struktur internal SDM (Kepala Klinik, PJP, PJKD, PJKF) hingga integrasi teknologi kesehatan (RME) secara penuh. Bagi pemilik klinik, kepatuhan terhadap Permenkes tentang klinik terbaru ini adalah prasyarat fundamental, bukan hanya untuk legalitas, tetapi juga untuk keberlanjutan dan daya saing bisnis di masa depan. Menyesuaikan diri dengan standar ini bukan lagi soal menghindari denda, melainkan investasi strategis dalam mutu layanan yang akan menghasilkan kepercayaan publik yang berkelanjutan.

Perubahan regulasi di sektor kesehatan bergerak cepat, dan detail teknisnya sangat spesifik. Memastikan transisi operasional yang mulus menuju standar PMK 17 Tahun 2024 membutuhkan pemahaman hukum yang mendalam, perencanaan SDM yang strategis, dan strategi operasional yang terukur.

Tag :
Bagikan artikel ini    
Isi formulir dibawah untuk berkomunikasi dengan tim kami.