Pelayanan Kefarmasian di Apotek: Bukan Sekadar Transaksi, Ini Standar Kesehatan Anda

Ditinjau oleh Harianus Zebua • 08 Oct 2025

Bagikan

pelayanan kefarmasian

Pelayanan kefarmasian di apotek adalah sebuah pilar penting dalam sistem kesehatan yang bertujuan untuk memastikan pasien menerima terapi obat yang aman, efektif, dan rasional. Berdasarkan standar yang diatur dalam Permenkes No. 73 Tahun 2016, pelayanan ini mencakup dua kegiatan utama: pengelolaan sediaan farmasi untuk menjamin kualitas dan legalitas obat, serta pelayanan farmasi klinik yang berfokus langsung pada pasien. Ini termasuk pengkajian resep untuk mencegah kesalahan pengobatan, pemberian informasi dan konseling agar pasien paham cara menggunakan obat dengan benar, hingga pemantauan terapi demi hasil yang optimal. Intinya, pelayanan ini mengubah apotek dari sekadar tempat transaksi menjadi fasilitas kesehatan yang mengutamakan keselamatan pasien (patient safety).

Bagi sebagian besar masyarakat, apotek adalah tempat untuk menebus resep atau membeli obat saat sakit. Persepsi yang umum adalah sebuah etalase transaksi, di mana obat menjadi komoditas utama. Namun, di balik meja penyerahan obat, ada sebuah dunia profesional yang kompleks dan terstandarisasi yang disebut pelayanan kefarmasian di apotek. Ini bukanlah sekadar aktivitas jual-beli, melainkan sebuah pilar penting dalam sistem kesehatan nasional yang bertujuan untuk memastikan pasien menerima terapi obat yang aman, efektif, dan rasional.

Keberadaan apotek dan praktisi di dalamnya, terutama Apoteker, diatur secara ketat oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat. Landasan hukum utama yang menjadi pedoman adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Peraturan ini secara fundamental mengubah wajah apotek dari sekadar 'toko obat' menjadi fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang berorientasi pada keselamatan pasien (patient safety).

Artikel ini akan mengupas tuntas apa saja standar pelayanan kefarmasian yang seharusnya Anda dapatkan di apotek, sesuai dengan amanat regulasi tersebut.

 

Dua Pilar Utama Pelayanan Kefarmasian

Menurut Permenkes 73/2016, standar pelayanan kefarmasian di apotek terbagi menjadi dua kegiatan utama yang saling menopang: (1) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), dan (2) Pelayanan Farmasi Klinik. Mari kita bedah satu per satu.

1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alkes, dan BMHP (Aspek Manajerial)

Ini adalah aktivitas "di balik layar" yang krusial untuk menjamin kualitas, ketersediaan, dan legalitas produk yang sampai ke tangan pasien. Proses ini memastikan bahwa obat yang Anda terima bukanlah produk ilegal, rusak, atau kedaluwarsa.

  • a. Perencanaan: Apotek tidak memesan obat secara sembarangan. Proses perencanaan dilakukan secara cermat berdasarkan data penggunaan periode sebelumnya, pola penyakit di lingkungan sekitar (epidemiologi), dan anggaran yang ada. Tujuannya adalah untuk menghindari kekosongan stok obat-obat penting (vital drugs) sekaligus mencegah penumpukan obat yang berisiko kedaluwarsa.

  • b. Pengadaan: Setiap obat yang masuk ke apotek harus berasal dari sumber yang sah dan resmi, yaitu Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang memiliki izin. Proses ini terdokumentasi melalui Surat Pesanan (SP) yang sah dan ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek (APA). Ini adalah benteng pertama untuk mencegah masuknya obat palsu atau ilegal ke rantai pasokan.

  • c. Penerimaan: Saat pesanan tiba, petugas farmasi akan melakukan pemeriksaan teliti. Kesesuaian antara faktur dengan kondisi fisik barang diperiksa, meliputi nama obat, dosis, jumlah, nomor bets, dan tanggal kedaluwarsa. Kondisi kemasan pun tak luput dari pengecekan untuk memastikan tidak ada kerusakan.

  • d. Penyimpanan: Ini adalah ilmu yang vital. Obat memiliki karakteristik berbeda dan memerlukan kondisi penyimpanan khusus. Standar penyimpanan meliputi:

    • Prinsip FIFO dan FEFO: First In First Out (barang yang datang pertama, keluar pertama) dan First Expired First Out (barang dengan tanggal kedaluwarsa terdekat, keluar pertama).

    • Pengaturan Suhu: Beberapa obat seperti insulin atau sediaan probiotik harus disimpan di lemari pendingin (suhu 2-8°C), sementara mayoritas obat disimpan pada suhu ruang terkendali (di bawah 25°C).

    • Penyimpanan Khusus: Obat golongan Narkotika dan Psikotropika wajib disimpan dalam lemari khusus yang terkunci ganda. Obat LASA (Look Alike Sound Alike) diberi penandaan khusus untuk mencegah kesalahan pengambilan.

  • e. Pemusnahan: Obat yang telah kedaluwarsa atau rusak tidak boleh dibuang sembarangan. Ada prosedur pemusnahan khusus, terutama untuk obat-obat tertentu, yang didokumentasikan dalam berita acara pemusnahan. Tujuannya adalah untuk mencegah penyalahgunaan dan melindungi lingkungan.

  • f. Pengendalian: Apotek melakukan pengendalian stok secara berkala (misalnya melalui stock opname) untuk memastikan kesesuaian antara catatan di kartu stok atau sistem komputer dengan jumlah fisik obat. Ini penting untuk mengontrol persediaan dan mencegah kehilangan.

  • g. Pencatatan dan Pelaporan: Seluruh aktivitas manajerial ini wajib dicatat dan didokumentasikan. Pelaporan khusus juga wajib dilakukan, misalnya pelaporan penggunaan Narkotika dan Psikotropika secara daring kepada Kementerian Kesehatan.

 

2. Pelayanan Farmasi Klinik (Aspek Pelayanan Pasien)

Inilah inti dari interaksi antara apotek dan pasien. Jika aspek manajerial adalah fondasi, maka pelayanan farmasi klinik adalah bangunan utamanya yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Di sinilah peran Apoteker sebagai tenaga kesehatan menjadi sentral. Apoteker di apotek adalah garda terakhir pertahanan dalam rantai pengobatan pasien, memastikan setiap obat yang diserahkan tepat dan aman.

  • a. Pengkajian (Skrining) Resep: Sebelum obat disiapkan, Apoteker wajib melakukan skrining resep. Ini adalah langkah kritis untuk mencegah medication error. Skrining meliputi 3 aspek:

    1. Administratif: Kelengkapan nama pasien, umur, berat badan, nama dokter, nomor izin praktik, tanggal resep, dll.

    2. Farmasetik: Bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, cara pemberian, dan ada tidaknya inkompatibilitas (ketidakcampuran) obat jika diracik.

    3. Klinis: Ketepatan indikasi, dosis, dan waktu penggunaan obat. Apoteker juga akan memeriksa kemungkinan adanya duplikasi pengobatan atau interaksi obat yang berbahaya. Jika ditemukan masalah, Apoteker akan menghubungi dokter penulis resep.

  • b. Dispensing: Ini adalah kegiatan penyiapan dan penyerahan obat. Jika resep meminta obat racikan, Apoteker akan meraciknya sesuai standar. Setelah obat siap, dilakukan pemeriksaan akhir kesesuaian antara obat dengan resep sebelum dimasukkan ke dalam etiket yang informatif.

  • c. Pemberian Informasi Obat (PIO): Setiap pasien berhak mendapatkan informasi yang jelas tentang obatnya. PIO mencakup: cara penggunaan obat yang benar (misalnya sebelum/sesudah makan, dikunyah/ditelan utuh), jadwal minum obat, efek samping yang mungkin timbul, dan cara penyimpanan obat di rumah. Ini adalah layanan standar yang harus diberikan saat penyerahan obat.

  • d. Konseling: Ini adalah layanan yang lebih mendalam dibandingkan PIO. Konseling adalah sesi diskusi privat antara Apoteker dan pasien (atau keluarganya) untuk membahas masalah terkait terapi obat. Biasanya, layanan ini sangat dianjurkan bagi pasien dengan penyakit kronis (seperti diabetes, hipertensi), pasien lansia (polifarmasi), atau pasien dengan regimen pengobatan yang kompleks. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan pasien.

  • e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care): Untuk pasien dengan kebutuhan khusus, Apoteker dapat melakukan kunjungan ke rumah untuk memberikan pendampingan terkait penggunaan obat, misalnya cara penggunaan insulin, alat bantu pernapasan, atau memastikan kepatuhan minum obat pada lansia.

  • f. Pemantauan Terapi Obat (PTO): Apoteker bekerja sama dengan pasien dan tenaga kesehatan lain untuk memantau perkembangan terapi. Tujuannya adalah untuk memastikan tujuan pengobatan tercapai dan mengidentifikasi masalah terkait obat yang mungkin muncul selama terapi.

  • g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO): Apoteker berperan aktif dalam mengidentifikasi dan melaporkan setiap kejadian efek samping obat yang dialami pasien. Data ini sangat penting bagi badan regulasi (BPOM) untuk memantau keamanan obat yang beredar.

 

Mengapa Standar Ini Penting Bagi Anda?

Memahami standar pelayanan kefarmasian di apotek memberdayakan Anda sebagai pasien. Anda berhak untuk mendapatkan lebih dari sekadar kantong plastik berisi obat. Anda berhak bertanya, berhak mendapatkan penjelasan yang detail, dan berhak mendapatkan jaminan bahwa obat yang Anda konsumsi telah melalui serangkaian proses kontrol kualitas dan keamanan yang ketat.

Penerapan standar ini secara langsung berkontribusi pada:

  • Peningkatan Keamanan Pengobatan: Mengurangi risiko efek samping, interaksi obat, dan kesalahan dosis.

  • Peningkatan Efektivitas Terapi: Memastikan obat digunakan dengan cara yang benar sehingga memberikan hasil yang optimal.

  • Peningkatan Kepatuhan Pasien: Dengan pemahaman yang baik, pasien akan lebih patuh dalam menjalani pengobatannya.

 

Pelayanan kefarmasian di apotek adalah sebuah sistem layanan kesehatan yang terstruktur, profesional, dan berpusat pada pasien. Dengan berlandaskan Permenkes 73/2016, apotek bertransformasi menjadi mitra strategis dalam perjalanan kesehatan Anda. Jangan ragu untuk berinteraksi dan bertanya kepada Apoteker saat Anda berada di apotek. Manfaatkan keahlian mereka untuk memastikan Anda dan keluarga mendapatkan manfaat maksimal dan terhindar dari risiko pengobatan.

Jika Anda adalah seorang praktisi, pemilik sarana apotek, atau pihak yang berkepentingan dan membutuhkan bantuan terkait penerapan, audit, atau peningkatan mutu standar pelayanan kefarmasian di apotek Anda sesuai regulasi yang berlaku, jangan ragu untuk menghubungi tim konsultan terpercaya.

Tag :
Bagikan artikel ini    
Isi formulir dibawah untuk berkomunikasi dengan tim kami.