Penyakit

Botulisme

Ditinjau oleh dr. Nanda L Prasetya, MMSc • 04 Jun 2021

Bagikan

Botulisme

Botulisme adalah penyakit mematikan yang disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium botulinum. Bakteri ini dapat menghasilkan spora dan toksin yang membutuhkan lingkungan tanpa oksigen untuk bertahan hidup, seperti makanan kaleng. Toksin ini menyebabkan gangguan pada sistem saraf sehingga otot tidak dapat berkontraksi. Apabila toksin ini menyerang otot pernapasan, gagal pernapasan dan kematian dapat terjadi.


Transmisi toksin botulinum paling sering terjadi melalui makanan kaleng yang terkontaminasi. Makanan kaleng diawetkan      dengan menghilangkan udara di dalamnya untuk membunuh sebagian besar bakteri. Namun, bakteri Clostridium botulinum justru dapat menghasilkan spora dan toksinnya dalam lingkungan tersebut. Jika makanan kaleng tidak dipanaskan pada suhu yang tepat dan waktu yang cukup, spora tetap dapat menghasilkan toksin yang berbahaya apabila dikonsumsi oleh manusia.


Selain melalui makanan kaleng, spora juga dapat ditemukan di lingkungan       (masuk melalui luka)      dan juga pada madu.      Oleh karena itu, bayi berusia di bawah 12 bulan tidak direkomendasikan untuk mengonsumsi madu. Risiko botulisme pada bayi lebih tinggi dibandingkan dewasa karena saluran cernanya belum matur sempurna. 


Gejala dan Tanda


Toksin botulinum menyerang saraf yang mengatur kontraksi otot sehingga      gejala utama yang dikeluhkan pasien adalah kelemahan otot pada kedua sisi. Kelemahan otot yang pertama kali dirasakan adalah pada otot sekitar wajah. Gejala lain akibat kelemahan otot meliputi kelopak mata turun, mulut kering, penglihatan ganda, kesulitan berbicara, dan kesulitan menelan.


Kelemahan otot dapat berlanjut hingga kelemahan otot tungkai dan otot pernapasan. Kelemahan otot pernapasan dapat menyebabkan kematian. Pada keracunan toksin botulinum, fungsi sensoris tidak terganggu sama sekali. 


Diagnosis

Penegakkan diagnosis botulisme dilakukan berdasarkan gejala kelemahan otot yang dialami pasien dan riwayat penyakitnya. Kemungkinan botulisme meningkat jika pasien diketahui sebelumnya mengonsumsi makanan kaleng. Jika ada pasien lain yang mengeluhkan gejala serupa dan mengonsumsi makanan kaleng yang sama, kemungkinan botulisme semakin tinggi. 


Pemeriksaan penunjang yang mungkin dibutuhkan untuk mendiagnosis botulisme adalah      spesimen darah atau feses pasien untuk menemukan toksin. Toksin juga dapat ditemukan pada makanan yang dicurigai meracuni pasien. Selain itu, jika pasien dicurigai terinfeksi  melalui luka kulit, toksin juga masih dapat ditemukan dari kultur luka. 


Tata Laksana


Hingga saat ini, belum ada obat yang terbukti efektif untuk menata laksana botulisme. Pasien yang diduga mengalami botulisme perlu diawasi secara ketat untuk mencegah terjadinya gangguan pernapasan. Terapi suportif dan intubasi diberikan kepada pasien yang mengalami kelemahan otot pernapasan. Antitoksin perlu diberikan kepada setiap pasien yang dicurigai menderita botulisme tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah atau kultur.


Tujuan dari pemberian antitoksin adalah menangkap toksin yang masih bebas di dalam aliran darah sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada saraf. Namun, antitoksin tidak dapat mengembalikan fungsi saraf yang sudah terganggu oleh toksin yang berhasil mencapai saraf terlebih dahulu sehingga hanya berfungsi mencegah perburukan lebih lanjut.     

    Referensi :


    • Bush LM, Vazquez-Pertejo MT. Botulism [Internet]. New Jersey: Merck Manual; 2019 Sep [cited on 2020 Nov 19]. Available from: https://www.merckmanuals.com/professional/infectious-diseases/anaerobic-bacteria/botulism 
    • Botulism [Internet]. World Health Organization; 2018 Jan 10 [cited on 2020 Nov 19]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/botulism
    Bagikan artikel ini