HIS
Lonceng digitalisasi fasilitas kesehatan di Indonesia telah dibunyikan, dan bunyinya semakin nyaring. Sejak Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 24 Tahun 2022 diterbitkan, status Rekam Medis Elektronik (RME) berubah total. Ia bukan lagi sekadar inovasi "keren" untuk rumah sakit besar di ibu kota; ia adalah kewajiban.
Mandat ini secara efektif memaksa setiap fasilitas layanan kesehatan (fasyankes)—dari klinik pratama di pelosok hingga rumah sakit tipe A—untuk mengadopsi RME. Dan di sinilah peran Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) menjadi krusial.
SIMRS adalah "otak" operasional rumah sakit. Ia bukan hanya aplikasi untuk mendaftar pasien. Ia adalah ekosistem digital kompleks yang mengintegrasikan semua alur kerja: dari pendaftaran (front office), poliklinik, UGD, laboratorium, farmasi, radiologi, rawat inap, hingga ke bagian billing dan gudang. RME adalah "darah" yang mengalir di dalam sistem itu; data riwayat pasien yang menjadi inti dari pelayanan.
Bagi manajemen, mandat ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ini adalah kesempatan emas untuk melakukan lompatan efisiensi, menekan kebocoran, dan meningkatkan mutu layanan. Di sisi lain, ini adalah gunung terjal yang penuh tantangan.
Banyak yang berpikir bahwa implementasi SIMRS hanyalah soal membeli software. Realitanya, ini adalah salah satu proyek transformasi paling rumit yang akan dihadapi oleh manajemen rumah sakit. Ini bukan sekadar proyek IT; ini adalah proyek perubahan budaya, operasional, dan strategi.
Berdasarkan pengalaman di lapangan dan berbagai studi kasus, berikut adalah tantangan-tantangan terbesar yang seringkali membuat manajemen rumah sakit "gagal" atau "tertatih-tatih" dalam menerapkan SIMRS.
Mari kita jujur. Tantangan pertama dan seringkali yang paling menentukan adalah uang.
Bagi manajemen, terutama di rumah sakit swasta yang harus menghitung untung-rugi atau rumah sakit daerah dengan anggaran terbatas, investasi SIMRS adalah sebuah "beban" kapital yang masif. Kesalahan fatal yang sering terjadi adalah melihat SIMRS sebagai cost center (pusat biaya), bukan investment center (pusat investasi).
Mengapa biayanya besar? Karena kita tidak sedang bicara "membeli CD software".
Biaya Perangkat Keras (Hardware): SIMRS yang mumpuni membutuhkan server yang kuat. Apakah akan on-premise (beli server fisik sendiri, yang butuh ruang, pendingin, dan listrik khusus) atau cloud-based (berlangganan, yang biayanya operasional bulanan)? Keduanya adalah pilihan strategis dengan implikasi biaya besar. Belum lagi pengadaan puluhan atau ratusan unit komputer, laptop, barcode scanner, dan printer untuk setiap unit layanan.
Infrastruktur Jaringan: SIMRS berbasis web atau cloud menuntut koneksi internet yang stabil dan super cepat. Jaringan LAN (kabel) di dalam gedung rumah sakit harus mampu menopang lalu lintas data yang padat, dari gambar radiologi beresolusi tinggi hingga streaming data vital real-time.
Biaya Lisensi dan Implementasi: Vendor SIMRS biasanya membebankan biaya lisensi (bisa per pengguna, per tempat tidur, atau paket unlimited) dan biaya jasa implementasi (instalasi, customization, dan setup awal).
Biaya Pelatihan (Training): Seringkali diremehkan, padahal ini krusial. Ratusan SDM, dari dokter hingga staf administrasi, harus dilatih. Ini bukan hanya biaya mendatangkan pelatih, tapi juga biaya "kehilangan" jam produktif staf selama pelatihan.
Biaya Maintenance & Support: Setelah go-live, sistem butuh perawatan. Vendor akan mengenakan biaya support tahunan (biasanya 15-20% dari nilai lisensi) untuk pembaruan sistem dan bantuan teknis.
Manajemen dituntut untuk mengubah pola pikir. Ini bukan "biaya" yang hangus, melainkan investasi strategis jangka panjang yang Return on Investment (ROI)-nya mungkin baru terlihat 2-3 tahun ke depan dalam bentuk efisiensi operasional, kecepatan klaim BPJS, dan penurunan fraud.
Anda bisa membeli server tercanggih di dunia, tapi Anda tidak bisa "membeli" kemauan dokter senior Anda untuk berubah. Inilah tantangan terberat: manusia.
SIMRS mengubah cara kerja fundamental yang sudah mendarah daging selama puluhan tahun. Kertas diganti layar. Tanda tangan basah diganti digital signature. Status pasien yang dulu ditulis tangan, kini harus di-klik dan di-input.
Di sinilah "perang budaya" terjadi:
Resistensi dari "The Seniors": Dokter atau perawat senior yang sangat dihormati adalah aset klinis, tapi seringkali menjadi penghambat terbesar digitalisasi. Keluhan mereka klasik: "Saya ini dokter, bukan operator data entry," atau "Lebih cepat saya tulis tangan, sistem ini ribet, bikin lama." Mereka merasa teknologi ini mendehumanisasi hubungan mereka dengan pasien karena harus lebih banyak menatap layar.
Literasi Digital yang Timpang: Di dalam satu rumah sakit, Anda memiliki generasi digital native (perawat muda yang lincah) dan generasi digital immigrant (staf senior yang memegang mouse saja masih kaku). Memberikan pelatihan yang sama untuk kedua kelompok ini adalah resep kegagalan.
Ketakutan Kehilangan Kontrol/Pekerjaan: Staf administrasi atau rekam medis manual mungkin takut pekerjaan mereka akan digantikan oleh sistem. Mereka menjadi resisten bukan karena benci teknologinya, tapi karena takut masa depan mereka tidak aman.
Manajemen yang sukses tidak hanya fokus pada instalasi software. Mereka fokus pada Manajemen Perubahan (Change Management). Mereka mengidentifikasi siapa "juara" (champion) di setiap departemen, siapa "penghambat" (blocker), dan merancang strategi komunikasi untuk memenangkan hati dan pikiran mereka. Tanpa itu, SIMRS mahal itu hanya akan jadi pajangan.
Kita tidak bisa memukul rata kondisi infrastruktur di Indonesia. Apa yang mudah di Jakarta, bisa jadi mustahil di daerah terluar.
Koneksi Internet: Ini adalah "oksigen" bagi SIMRS modern. Di banyak daerah, koneksi internet masih mahal dan tidak stabil. Manajemen rumah sakit dihadapkan pada dilema: bagaimana menjalankan sistem vital jika internet putus-nyambung? Ini bisa melumpuhkan pelayanan.
Kesiapan Listrik: Rumah sakit harus menjamin uptime 24/7. Ini berarti butuh backup power (UPS, Genset) yang mumpuni, tidak hanya untuk alat medis, tapi juga untuk server room.
Horor Migrasi Data: Ini adalah mimpi buruk setiap Manajer IT. Rumah sakit yang sudah beroperasi puluhan tahun memiliki puluhan ribu, bahkan jutaan, data rekam medis dalam bentuk kertas di gudang. Memigrasikan semua data ini ke dalam format digital adalah pekerjaan raksasa.
Data Pasien Lama: Apakah data lama akan di-scan satu per satu? (Sangat mahal dan lama).
Data Pasien Aktif: Bagaimana memindahkan data pasien yang sedang dirawat saat transisi dari sistem lama ke baru?
Standarisasi: Data lama seringkali tidak standar (tulisan tangan tidak terbaca, diagnosis tidak terstruktur).
Manajemen seringkali terlalu optimis dengan timeline teknis. Mereka harus realistis bahwa downtime sistem, kelambatan, dan masalah migrasi data pasti akan terjadi. Pertanyaannya adalah, apakah rencana kontingensi (rencana B) sudah disiapkan?
Dulu, rumah sakit membeli SIMRS dan merasa cukup jika sistem itu bisa mencetak kuitansi dan laporan internal. Sekarang, zaman sudah berubah.
SIMRS tidak bisa lagi menjadi "Menara Gading" atau "Taman Berdinding" (Walled Garden) yang tertutup. Ia wajib bisa "berbicara" dengan sistem lain. Inilah yang disebut interoperabilitas.
Integrasi Internal: SIMRS harus terhubung mulus dengan sistem lain di dalam rumah sakit. Sistem Laboratorium (LIS) dan Radiologi (RIS/PACS) seringkali dibeli dari vendor berbeda. Jika SIMRS tidak bisa otomatis mengirim order lab dan menerima hasilnya secara digital, maka efisiensi tidak tercapai.
Integrasi Eksternal (BPJS): Pelayanan pasien BPJS adalah tulang punggung pendapatan banyak rumah sakit. SIMRS wajib terintegrasi dengan layanan bridging VClaim dan Antrean Online BPJS. Jika tidak, staf harus melakukan double entry, yang sangat membuang waktu dan rentan error.
Sang Penguasa Baru: SATUSEHAT: Inilah tantangan terbesar saat ini. Kemenkes, melalui PMK 24/2022, mewajibkan semua SIMRS terintegrasi dengan platform SATUSEHAT. Artinya, data RME pasien (diagnosis, obat, lab, dll.) harus dikirim ke database nasional Kemenkes.
Survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan sebanyak 210 juta rakyat Indonesia menggunakan internet. Maka penggunaan SIMRS seharusnya tidak menjadi masalah. Adj. Prof. Hananiel Prakarsa Widjaya, CEO National Hospital Surabaya, merangkumkan masalah yang dialami rumah sakit saat ini:
Dilain hal manajemen tidak bisa sembarangan memilih vendor. Mereka harus memastikan vendor SIMRS memiliki komitmen dan kemampuan teknis untuk terhubung dengan SATUSEHAT. Jika tidak, rumah sakit bisa kena sanksi, mulai dari teguran hingga pencabutan izin.
Tantangan ini sangat strategis dan berdampak jangka panjang. Pasar SIMRS di Indonesia sangat ramai, mulai dari vendor raksasa multinasional hingga startup lokal. Manajemen sering terjebak.
Jebakan Harga Murah: Tergiur dengan penawaran harga yang sangat murah. Hasilnya? Sistem yang kaku, tidak bisa di-customize, dan after-sales service yang lambat atau tidak ada sama sekali. Ketika ada regulasi baru (seperti kewajiban SATUSEHAT), vendor murah ini "menghilang" atau mengenakan biaya tambahan selangit.
Fitur "Gajah": Membeli sistem yang terlalu canggih dan mahal (overkill) padahal kebutuhannya sederhana. Akibatnya, rumah sakit membayar fitur-fitur yang 90% tidak pernah dipakai.
Vendor Lock-in: Terkunci pada satu vendor. Ketika rumah sakit ingin mengembangkan fitur baru atau mengintegrasikan alat baru, mereka "disandera" oleh vendor tersebut karena sistemnya tertutup (closed source).
Tidak Paham Kebutuhan Sendiri: Tantangan terbesar seringkali bukan di vendor, tapi di rumah sakit itu sendiri. Manajemen gagal memetakan alur bisnis (SOP) mereka secara detail. Akibatnya, mereka tidak bisa memberikan brief yang jelas kepada vendor tentang apa yang sebenarnya mereka butuhkan.
Manajemen harus menjadi "pembeli cerdas" (smart buyer). Jangan hanya tanya "harganya berapa?". Tanyakan: "Bagaimana support-nya?", "Bagaimana skalabilitasnya jika RS kami menambah 100 tempat tidur?", "Bagaimana komitmen Anda terhadap integrasi SATUSEHAT?", "Tunjukkan portofolio klien Anda yang sejenis dengan kami."
Memilih vendor SIMRS adalah seperti memilih pasangan hidup untuk bisnis rumah sakit. Salah pilih, sengsaranya bertahun-tahun.
Ketika semua data rekam medis pasien menjadi digital, rumah sakit secara otomatis duduk di atas "harta karun" data yang sangat sensitif. Dan harta karun selalu mengundang pencuri.
Ancaman Ransomware: Ini adalah ancaman paling nyata. Beberapa rumah sakit di Indonesia dan dunia pernah lumpuh total karena data mereka dienkripsi oleh hacker dan diminta uang tebusan. Bayangkan sebuah UGD tidak bisa mengakses riwayat alergi pasien karena sistemnya terkunci. Ini adalah bencana.
Kepatuhan UU PDP: Indonesia kini memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No. 27 Tahun 2022. Regulasi ini memberikan sanksi denda yang sangat besar bagi organisasi yang gagal melindungi data pribadi (dan RME adalah data pribadi paling sensitif).
Kebocoran Internal: Ancaman tidak selalu dari luar. Perawat yang iseng membuka rekam medis artis, atau staf yang tidak puas lalu menjual data pasien.
Bagi manajemen, ini berarti investasi SIMRS harus dibarengi dengan investasi keamanan siber. Mereka butuh firewall yang kuat, kebijakan backup data yang rutin, pelatihan kesadaran keamanan untuk staf, dan audit akses (siapa, melihat apa, kapan). Ini adalah tanggung jawab hukum dan etis yang tidak bisa ditawar.
Setelah menjabarkan semua tantangan teknis, finansial, dan regulasi, kita sering terjebak membicarakan SIMRS sebagai sebuah produk teknologi. Kita membandingkan fitur, harga, dan kecanggihan dashboard. Namun, kita lupa satu hal: SIMRS pada dasarnya adalah cermin.
Ia adalah cermin yang memantulkan budaya, kebiasaan, dan—jujur saja—kekacauan organisasi kita.
Jika implementasinya gagal, seringkali bukan software-nya yang buruk, tapi organisasi kita yang belum siap "bercermin". Tantangan terbesarnya tidak terletak pada coding atau server, melainkan pada dua kutub perspektif yang seringkali berseberangan di dalam rumah sakit itu sendiri: perspektif manajemen dan perspektif klinisi (dokter).
Bagi seorang direktur atau manajer rumah sakit, SIMRS adalah sebuah investasi besar. Ini bukan sekadar belanja IT; ini adalah pertaruhan strategis.
Dalam pikiran manajemen, SIMRS adalah "mesin" yang harusnya bisa menekan kebocoran (klaim BPJS yang salah, over-stock obat), mempercepat cash flow (pasien pulang, tagihan selesai saat itu juga), dan memenuhi kepatuhan (akreditasi dan SATUSEHAT).
Manajemen melihat angka. Mereka melihat Return on Investment (ROI). Sudut pandang personal mereka seringkali begini: "Saya sudah mengeluarkan miliaran rupiah untuk sistem ini. Kenapa laporan harian masih terlambat? Kenapa dokter A masih menolak input data? Kita tidak sedang membeli mainan mahal." Mereka melihat SIMRS sebagai alat kontrol dan optimalisasi.
Di sinilah letak majas itu:
Implementasi SIMRS tanpa komitmen penuh dari manajemen puncak ibarat membangun istana pasir di tepi pantai; megah sesaat, namun rapuh dan pasti hancur diterjang ombak realita operasional harian.
Bagi manajemen, SIMRS adalah fondasi, bukan hiasan.
Sekarang, mari kita pindah ke ruang praktik. Di sini, suasananya sangat berbeda.
Bagi seorang dokter, fokus utamanya adalah satu: pasien di depannya. Waktu adalah komoditas paling berharga. Setiap detik yang terbuang untuk administrasi adalah detik yang tercuri dari waktu tatap muka dengan pasien.
Sudut pandang personal dokter (terutama yang sudah senior) seringkali begini: "Saya dilatih puluhan tahun untuk mendiagnosis penyakit, bukan untuk menjadi operator data entry. Kenapa saya harus melakukan 10 kali klik hanya untuk meresepkan Paracetamol? Dulu, saya bisa menulis resep dalam 30 detik. Sekarang, saya butuh 3 menit menatap layar, sementara pasien menunggu."
Bagi mereka, SIMRS seringkali hadir sebagai "monster" birokrasi digital, terutama jika workflow-nya rumit, lambat, dan mengganggu rapport dokter-pasien.
Inilah inti tantangan implementasi SIMRS: menjembatani kebutuhan efisiensi (Manajemen) dengan kebutuhan efektivitas (Dokter). SIMRS yang sukses adalah yang berhasil membuat dokter merasa terbantu, bukan terbebani.
Penerapan SIMRS, yang didorong oleh mandat RME, adalah sebuah keniscayaan. Tantangan yang dijabarkan di atas—mulai dari biaya, manusia, infrastruktur, regulasi, hingga keamanan—adalah nyata dan akan dihadapi oleh setiap manajemen rumah sakit.
Namun, tantangan ini ada bukan untuk dihindari, melainkan untuk dikelola.
Kesalahan terbesar adalah menyerahkan proyek ini hanya kepada Departemen IT. Implementasi SIMRS adalah proyek transformasi bisnis. Ia harus dipimpin langsung oleh jajaran direksi, dengan dukungan penuh dari pemilik. Ia butuh strategi, komunikasi yang tiada henti, dan komitmen untuk "tidak kembali ke cara lama".
Pada akhirnya, tujuan digitalisasi ini bukan untuk menyenangkan Kemenkes atau membuat laporan keuangan jadi cantik. Tujuannya satu: meningkatkan keselamatan dan mutu pelayanan pasien. SIMRS hanyalah alat. Manusialah yang menentukan keberhasilannya.
Apabila Anda membutuhkan bantuan terkait kata kunci, atau sedang mencari mitra profesional untuk memandu manajemen rumah sakit Anda melewati kompleksitas tantangan penerapan SIMRS dan RME, jangan ragu untuk menghubungi AIDO. Kami siap membantu Anda bertransformasi.
Anda mungkin juga tertarik