Tingkat Adopsi Rekam Medis Elektronik

Ditinjau oleh dr. Juliana Ng • 18 Jul 2023

Bagikan

Tingkat Adopsi Rekam Medis Elektronik

Sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) dan rekam kesehatan elektronik (RME) adalah dua bentuk teknologi digital yang umum digunakan di rumah sakit. SIMRS adalah sistem yang mengintegrasikan seluruh proses pelayanan rumah sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan, dan administrasi untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat. RME adalah catatan medis yang terkomputerisasi dan digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, dan pertukaran data elektronik dalam mendukung pelayanan kesehatan kepada pasien. RME juga memungkinkan interoperabilitas, yaitu pertukaran informasi rekam medis antara sistem penyedia layanan kesehatan sebagai rekam kesehatan elektronik (RKE).

 

Pandemi COVID-19 pada tahun 2020 mendorong penggunaan teknologi digital di fasilitas kesehatan untuk pelayanan pasien, manajemen organisasi, dan pelaporan pada tingkat sub-nasional dan nasional. Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menerbitkan cetak biru digital yang menekankan penerapan RME, pertukaran data elektronik, dan pendekatan analitik yang modern. Penguatan sistem informasi di fasilitas kesehatan diarahkan untuk integrasi data kesehatan nasional berbasis layanan dan efisiensi proses pelaporan guna mendukung analisis data dan pengambilan keputusan. Platform SATUSEHAT diharapkan dapat mengatasi keberagaman data dan sistem informasi kesehatan di Indonesia dan memberikan manfaat melalui RME yang interoperabel untuk kelangsungan pelayanan kesehatan pasien.

 

Namun, transformasi digital di rumah sakit memerlukan intervensi yang tepat. Diperlukan penilaian kematangan digital di rumah sakit untuk memperoleh gambaran implementasi teknologi digital dari beberapa dimensi penting dan mengidentifikasi kesenjangan yang memerlukan intervensi. Penilaian kematangan digital juga membantu organisasi dalam mengevaluasi tingkat adopsi RME saat ini. Model penilaian kematangan menyajikan parameter yang mengakomodasi semua dimensi penting seperti sistem informasi dan infrastruktur TIK, tata kelola dan manajemen, interoperabilitas, sistem keamanan, privasi dan kerahasiaan data, serta RME.

 

Tujuan Penilaian Kematangan Digital

Secara umum, penilaian kematangan digital di rumah sakit bertujuan untuk melihat kapasitas rumah sakit dalam mendukung percepatan transformasi digital di bidang kesehatan dan penerapan RME. Secara khusus, tujuan penilaian kematangan digital adalah sebagai berikut:

 

  • Menilai tingkat adopsi teknologi digital di rumah sakit saat ini untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi layanan medis.

  • Mengidentifikasi tantangan dalam penerapan kesehatan digital di tingkat rumah sakit untuk menyusun rekomendasi adopsi, strategi, dan prioritas investasi dalam teknologi kesehatan digital.

  • Menyediakan alat untuk membandingkan tingkat adopsi inovasi digital di rumah sakit.

  • Melibatkan komunitas dan asosiasi profesional dalam penilaian dan peningkatan kematangan digital di tingkat rumah sakit.

  • Metode penilaian kematangan digital

 

Pendekatan yang digunakan dalam penilaian kematangan digital rumah sakit adalah survei penilaian mandiri yang dilakukan pada tahun 2022. Responden survei diambil dari data RS Online Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan sebanyak 3.052 rumah sakit. Tim penilaian kematangan digital terdiri dari Kementerian Kesehatan, Perhimpunan Rumah Sakit, dan Asosiasi Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia. CHISU (Country Health Information Systems and Data Use) USAID mendukung kegiatan penilaian kematangan digital mulai dari penyusunan protokol, pengembangan instrumen, penggunaan survei elektronik, hingga penyebaran hasil penilaian.

 

Instrumen penilaian kematangan digital dikembangkan dengan mengadopsi beberapa referensi seperti hospital information system maturity model (HISMM). Terdapat 7 komponen penilaian kematangan digital yang terdiri dari 24 sub-komponen dan 69 pertanyaan. Terdapat dua model pertanyaan, yaitu pertanyaan dengan satu pilihan jawaban dan pertanyaan checklist Ya/Tidak. Setiap jawaban memiliki nilai 0-5 yang menunjukkan level kematangan digital atau digital maturity index (Level DMI) di rumah sakit. Beberapa pertanyaan checklist Ya/Tidak dari komponen VII.C digunakan untuk mengukur tingkat adopsi RME menggunakan skala 0-7.

 

Survei dilakukan secara elektronik mulai dari Juli hingga Desember 2022. Kegiatan dimulai dengan sosialisasi dan penyusunan panduan penggunaan instrumen elektronik. Koordinasi survei penilaian kematangan digital direkomendasikan melibatkan Unit Sistem Informasi di Rumah Sakit dan pemangku kepentingan lain yang relevan di rumah sakit.

 

Untuk meningkatkan tingkat respons dan validasi data, dilakukan monitoring pengisian oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, surat edaran oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, supervisi di tingkat provinsi, dan validasi data langsung di rumah sakit tertentu. Perhimpunan dan asosiasi profesional juga memberikan pengingat kepada rumah sakit terkait survei penilaian kematangan digital.

 

Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif, meliputi response rate, kelengkapan pengisian survei penilaian mandiri, dan hasil penilaian kematangan digital per komponen. Beberapa pertanyaan dari komponen VII.C digunakan untuk menilai tingkat adopsi RME. Data RS Online digunakan untuk mendeskripsikan level kematangan digital berdasarkan karakteristik rumah sakit. Dilakukan pula penilaian konsistensi internal dengan membandingkan level DMI dengan tingkat adopsi RME.

 

Hasil Penilaian Kematangan Digital (DMI)

Penilaian kematangan digital tingkat mikro dilakukan di seluruh rumah sakit pada tahun 2022. Sebanyak 1.083 rumah sakit di Indonesia berpartisipasi dalam survei penilaian mandiri kematangan digital. Namun, hanya 973 rumah sakit (31,88%) yang memenuhi kriteria untuk analisis kematangan digital (Level DMI), dan hanya 772 rumah sakit (25,29%) yang memenuhi kriteria untuk penilaian tingkat adopsi RME.

 

Hasil penilaian Level DMI menunjukkan bahwa mayoritas rumah sakit berada pada Level DMI 2 (39%) dan Level DMI 3 (39%). Rumah sakit di daerah Jawa-Bali memiliki rata-rata level kematangan digital lebih tinggi daripada daerah lain. Rumah sakit kelas A memiliki level kematangan digital lebih tinggi dibandingkan dengan kelas rumah sakit lainnya. Rumah sakit dengan status akreditasi utama dan paripurna cenderung memiliki level kematangan digital yang lebih tinggi. Model pengembangan SIMRS secara mandiri dan penggunaan SIMRS open source menunjukkan proporsi Level DMI yang tinggi. Komponen Data analisis memiliki nilai rata-rata paling rendah (1,84), sedangkan komponen Sistem informasi rumah sakit dan infrastruktur TIK memiliki nilai rata-rata tertinggi (3,54), diikuti oleh komponen sumber daya manusia, keterampilan, dan penggunaan sistem.

 

Tingkat adopsi RME terbanyak berada pada tingkat 3 (31%) dan tingkat 4 (22%). Sebanyak 425 rumah sakit (55%) memenuhi indikator tingkat adopsi RME minimal 3. Rumah sakit kelas A dan B memiliki proporsi adopsi RME yang lebih tinggi dibandingkan rumah sakit lainnya. Mayoritas rumah sakit tipe D Pratama memiliki adopsi RME pada tingkat 0. Rumah sakit umum dan rumah sakit dengan status akreditasi paripurna cenderung memiliki proporsi adopsi RME yang lebih tinggi. Tingkat adopsi RME berbanding lurus dengan level DMI di rumah sakit.

 

Pengalaman penilaian kematangan digital mandiri menghadapi beberapa tantangan. Kompleksitas instrumen penilaian kematangan digital memerlukan keterlibatan staf dengan latar belakang teknis dan kesehatan untuk memahami definisi operasional setiap komponen yang diukur. Kendala teknis dalam penggunaan survei elektronik dapat mempengaruhi kelengkapan pengisian, terutama di wilayah dengan akses geografis yang sulit. Diperlukan keterlibatan dinas kesehatan untuk memfasilitasi komunikasi dan dukungan teknis dalam meningkatkan response rate dan kelengkapan survei kematangan digital rumah sakit.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

Untuk menerapkan transformasi digital di bidang kesehatan, seperti di rumah sakit, diperlukan intervensi yang sesuai. Salah satu upaya untuk mengidentifikasi kesenjangan penerapan teknologi digital adalah melalui penilaian kematangan digital. Penilaian ini mencakup berbagai aspek seperti sistem informasi dan infrastruktur, standar dan interoperabilitas, tata kelola dan regulasi, sumber daya manusia, pendekatan analitik, dan ketersediaan fitur pendukung efektivitas pelayanan kesehatan.

 

Instrumen penilaian mandiri kematangan digital dikembangkan untuk menilai kapasitas rumah sakit dalam mengimplementasikan teknologi digital di Indonesia. Secara umum, nilai rata-rata kematangan digital rumah sakit (Level DMI) di Indonesia berada pada Level 3 (kategori terbentuk dan otoritas). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar rumah sakit di Indonesia telah memiliki sistem informasi dan peta jalan yang jelas terkait pengembangan struktur dan fungsi SIMRS, pengawasan, peningkatan kualitas, dan evaluasi sistem informasi rumah sakit secara sistematis. Hal ini sejalan dengan tingkat adopsi RME yang mayoritas berada pada tingkat 3 dan 4, menandakan ketersediaan modul farmasi, penunjang medis, penggunaan standar data, dan interoperabilitas antar sistem.

 

Perlu dilakukan umpan balik yang spesifik kepada rumah sakit untuk memberikan rekomendasi yang lebih tepat sesuai dengan hasil penilaian kematangan digital. Diperlukan pengawasan dan peningkatan kapasitas setelah survei penilaian mandiri untuk memperkuat kemampuan rumah sakit dalam mengadopsi RME. 

 

Hasil penilaian kematangan digital digunakan untuk mengembangkan kapasitas transformasi digital melalui pendekatan mentorship dan kerja sama dengan asosiasi rumah sakit. Rumah sakit dengan level kematangan digital yang lebih baik dapat menjadi mentor bagi rumah sakit lainnya. Perlu dikembangkan program peningkatan kapasitas sumber daya manusia di rumah sakit dan dinas kesehatan, termasuk pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dalam pemanfaatan sistem informasi, manajemen dan tata kelola sistem informasi rumah sakit, analitik, dan penggunaan data.

Selain itu, perlu diperkuat sistem informasi di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan dikembangkan instrumen penilaian mandiri kematangan digital untuk layanan primer, laboratorium klinik, dan apotik guna mendukung transformasi digital di Indonesia. Penguatan sistem informasi di fasilitas kesehatan yang diarahkan pada integrasi data kesehatan nasional tidak hanya terbatas pada rumah sakit, tetapi juga melibatkan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

 

Pengalaman dalam melakukan penilaian kematangan digital menunjukkan adanya beberapa tantangan. Kompleksitas instrumen tersebut memerlukan keterlibatan staf rumah sakit dari berbagai latar belakang. Selain itu, kendala penggunaan survei elektronik juga dapat mempengaruhi kelengkapan pengisian survei, terutama di wilayah dengan akses geografis yang sulit. Oleh karena itu, perlu adanya keterlibatan dinas kesehatan untuk memfasilitasi komunikasi dan memberikan dukungan teknis guna meningkatkan tingkat respons dan kelengkapan survei kematangan digital di rumah sakit.

 

SIMRS Aido HOSPITA Memiliki Fitur yang Lengkap

Aido HOSPITA adalah SIMRS yang menawarkan integrasi lengkap dengan platform digital lainnya sesuai dengan persyaratan Kementerian Kesehatan. SIMRS ini dirancang untuk memberikan kemudahan bagi petugas medis dan manajemen rumah sakit dengan menyediakan beragam fitur yang berguna, seperti pendaftaran pasien, modul laboratorium dan farmasi, manajemen keuangan hingga pelaporan dan analisis data yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing rumah sakit.

 

Aido HOSPITA hadir untuk memenuhi kebutuhan digitalisasi rumah sakit dengan menyediakan integrasi lengkap dengan platform digital lainnya. Dengan fitur-fitur yang lengkap dan terintegrasi, SIMRS Aido HOSPITA dapat membantu rumah sakit dalam meningkatkan efisiensi operasional, meningkatkan kualitas pelayanan medis, serta memberikan pemantauan dan analisis yang lebih baik.

Bagikan artikel ini